Begitulah saya memiliki hobi baru. Setiap hari minggu saya pergi ke gunung bersama Ujang Jio. Setiap pulang ke rumah, tangan tak pernah kosong dengan segala rupa hasil kebun dan hutan. Saya makin berani untuk berleha-leha di sepanjang perjalanan hutan Cibodas. Sampai pada suatu ketika saya minta ditinggalkan saja sendirian di tepi Sungai Cibodas. Ujang melanjutkan perjalanannya sendirian ke kebunnya, kemudian pulangnya menjemput saya di tepi hutan atau di tepi sungai.
Menginjak SMP hobi saya ber-hiking terus dilanjutkan. Saya tidak lagi bergantung pada Ujang Jio untuk bisa menikmati kampung, sawah, kebun dan hutan. Tetapi dengan jangkauan petualangan yang tidak lebih dari jarak yang dapat dicapai sehari pulang-pergi. Kadang saya mengkombinasikannya dengan bersepeda, jika jangkauannya berjarak lebih dari 10 kilometer.
Setiap ada kesempatan saya melakukan hobi itu. Hobi yang baru tumbuh di masa remaja tersebut sama sekali tidak populer di lingkungan sepermainan saya sehari-hari di kampung. Seluruh kawan-kawan remaja sepermainan di kampung lebih berorientasi ke pantai wisata Pangandaran yang ramai dengan para pelancong. Mereka menganggap aneh atas hobi saya. Kendati demikian saya tidak terkucilkan karena saya kadang menjadi rujukan informasi kawan-kawan; di kampung mana akan ada hajatan yang mementaskan wayang atau ronggeng gunung, di daerah mana dapat ditemukan tanah lempung yang bagus untuk kerajinan, atau sekedar kampung mana yang gadisnya cantik-cantik. Hal-hal itu ditanyakan ke saya, karena mereka tahu saya sering jalan ke pelosok kampung, ke gunung dan ke hutan.
Saya tahu seluruh kampung yang ada di sepanjang pantai selatan Ciamis. Saya tahu lokasi-lokasi mana yang pemandangan alamnya sangat bagus (tentu menurut selera saya). Saya tahu jalan-jalan setapak dan jalan-jalan desa menjurus atau menghubungkan kemana. Saya tahu tempat-tempat persinggahan mana, dimana kita bisa mendapatkan layanan keramah-tamahan sejati khas tanah parahyangan. Saya bahkan sampai sekarang masih ingat 5 lagu paling populer lengkap dengan syairnya, dari setiap pentas wayang atau ronggeng gunung di kampung-kampung perbukitan dan pantai selatan Ciamis. Benar mau tahu juga? Inilah the top five; Banondari, Lindeuk Japati, Ceurik Rahwana, Kacang Asin, Lalaki Raheut Hatena.
Menjelang selesai saya di SMP, saya merasa sudah tak ada lagi tantangan petualangan lagi pantai selatan Ciamis, karena semua pelosok kampung sudah saya ‘taklukan’. Ketika tantangan itu sudah hilang, alam bawah sadar saya bekerja. Saya teringat atas obsesi saya sewaktu SD atas empat hal; Kereta Uap, Borobudur, Hutan Rimba Belantara dan Alaska.
Kereta uap setiap hari di masa kecil menyihir saya dan selalu membuat saya terkagum-kagum. Saya --dan kami kawan sepermainan masa kanak-kanak-- mengeskpresikan kekaguman terhadap kereta uap itu sedikitnya dalam empat cara. Pertama, kami sering sama-sama mengejar kereta setiap kereta itu lewat sambil melambai-lambaikan tangan. Jalan kereta itu jaraknya hanya dua pelemparan batu saja dari halaman belakang rumah saya, dipisahkan sebidang kebun dan sepetak sawah.
Kedua, kami berlomba menggambarkannya di atas tanah. Lalu gambar itu dikagumi sendiri-sendiri dengan suara mendesis-desis menirukan suara semburan uap panas yang menggerakan roda-roda berat kereta uap. Sesudahnya (bosan) ditinggalkan begitu saja sampai angin atau kambing-kambing gembalaannya Ade Suta menghapus gambar-gambar kami.
Ketiga, kami membuat prototype-nya dari batang hati pohon pisang. Lalu menjalankanya dengan tertib pada rute jalur rel yang digariskan di tanah. Dan keempat, kami memperagakannya langsung bermain kereta dengan cara saling mengalungkan kain sarung selepas pulang mengaji malam. Yang depan mengalungkanya ke yang depannya lagi, yang belakang memegang ekor sarung. Ini mematut-matukan diri agar mirip rangkaian gerbong. Tetapi ekspresi yang terakhir itu, tidaklah sepenuhnya sebagai bentuk apresiasi dan kekaguman terhadap kereta uap itu; melainkan cara tersamar untuk menutupi rasa takut pulang mengaji malam hari. Karena permainan terakhir itu hanya dilakukan ketika ada orang meninggal di kampung atau setelah mendengar cerita-cerita hantu kelapa kowong.
Sedangkan obsesi kecil saya tentang Borobudur, Hutan dan Alaska; semuanya sepenuhnya terinspirasi dari rumah Pak Kuwu Juwandi (kuwu=kepala desa). Di masa kami kanak-kanak, di desa kami yang saya ingat hanya ada 3 orang pemilik pesawat televisi b/w, yakni Mang Susman, Mang Omo serta Pak Juwandi itu. Tetapi hanya Pak Juwandi yang selalu membuka pintunya lebar-lebar bagi warga kampung yang mau menonton televisi. Hal itu dimungkinkan karena kedudukan beliau sebagai kuwu yang mesti terbuka/dekat dengan warga/rakyatnya.
Antene televisinya diikatkan pada sebatang bambu yang menjulang dipasang di atas pohon kelapa tertinggi dan terdekat dari rumahnya beliau. Tentu saja kualitas gambar dan suaranya amat sangat dinamis; kadang jernih dan tajam tetapi juga sebaliknya bisa tiba-tiba buram dan penuh semut (bintik-bintik hitam). Hal itu sesuai dengan gerakan dan arah goyangan dari pohon kelapa yang tertiup angin pantai selatan.
Kesetaraan kekaguman saya pada Borobudur, Hutan dan Alaska; yang pernah saya tonton di acara televisi pak kuwu itu; setara dengan kekaguman saya pada kereta api uap. Di kelas di SD, tema-tema lukisan saya pasati tentang empat hal itu; Kereta Uap, Borobudur, Hutan dan Alaska. Lukisan saya di kelas di SD tak ada yang dapat menandinginya, kecuali Ujang Rusmana. Tetapi itu setengah tangga masih di bawah saya. Saya menjadi satu-satunya delegasi dari SD Cikembulan 1 yang ikut lomba Pasanggiri Melukis yang diselenggarakan di Pangandaran. Dan kalah telak, karena tema lukisan yang diperlombakan adalah tentang pasar malam dan lebaran di pantai Pangandaran.
Begitulah masa kanak-kanak saya penuh obsesi atas empat hal itu. Dorongan alam bawah sadar masa kanak-kanak itu seketika menyajikan inspirasi petualangan baru, yakni ketika petualangan kampung telah tidak menantang lagi. Obsesi kecil itu tumbuh dan menguat dimasa remaja --Saat itu saya kelas 3 SMP.
Perjalanan. Aneh bin ajaib, belakangan di kemudian hari seluruh obsesi yang pernah saya gambarkan di atas tanah itu ternyata semuanya kejadian!!
Belum genap saya berusia 17 tahun saya telah menjangkau Borobudur dan telah mencapai pusat penting kereta berada yakni Madiun (bengkel segala kereta api), yang dicapai dengan cara hiking dan kombinasi naik kereta uap. Dan saya lakukan sendirian saja! Belum genap 27 tahun saya telah menjangkau sebagian besar hutan-hutan penting di Jawa, mulai dari Ujungkulon di ujung barat Jawa sampai Blambangan di ujung wetan Jawa. Sebelum usia itu saya malah telah disandangkan gelar Sarjana Kehutanan, oleh sebuah paguron di Bogor. Sebelum usia 37 tahun saya telah menghirup atsmosfir hutan Alaska. Saya berpetualang denan orang-orang Indian, serta dibaiat/diinagurasi sebagai anggota kerhormatan suku.
Tunggu kawan. Kalau ada lagi mood, akan saya kisahkan penggalan perjalanan tersebut. Di posting ini saya hanya ingin berbagi pengalaman sedikit saja. Mungkin ini sebagai moral kisah perjalanaan. Bahwa, ada baiknya jangan terlalu kuat juga punya obsesi itu. Contoh, saya memiliki obsesi kecil yang kuat terhadap kereta. Akibatnya sampai saat ini saya bepergian tak jauh dari menggunakan kereta, KRL Jabodetabek yang penuh sesak berhimpitan memeras keringat. Padahal seharusnya saya bepergian dengan Ford Everest! Semoga ini menjadi obsesi yang masuk ke alam bawah sadar saya, sehingga dapat mencapainya sebelum melewati usia 47, Oh..!***
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar