Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (17): Ketika Cengkih Berbunga


Pada suatu perjalanan di daerah selatan Sukabumi saya bersua dengan tiga orang muda. Mereka bermandi peluh dengan muka sedikit terbakar matahari. Di punggungnya tergantung ransel, jaket diselempangkan di atasnya, dan satu orang menggantungkan sepatu di tali ranselnya. Ketiganya berkalung headphone yang diulur dari telepon selulernya. Tak lama kemudian rombongan kecil muda tersebut bergabung dengan kedai dimana saya rehat. Tak butuh waktu lama untuk dapat akrab dengan mereka. Di akhir perbincangan saya traktir semua jajan mereka di kedai itu, tak lupa saya bekali mereka dengan beberapa botol air kemasan serta biskuit seadanya. Fragmen itu mengingatkan kembali saya pada masa remaja dulu ketika bertualang di alam bebas, yang membedakan dengan mereka sekarang; saya dulu berkalung ketapel.

Kecintaan saya pada olah raga jalan kaki (hiking) terpupuk sejak dini di masa ketika SD. Saya ingat, jika cengkeh tlah berbunga maka itu pertanda dimulainya musim petualangan kecil. Segera setelah bunga cengkih matang, maka anak-anak kecil berpetualang dari satu kebun cengkih ke kebun cengkih lainnya untuk mencari dan mengumpulkan cengkih yang jatuh di tanah. Cengkih di masa pertengahan 70-an ada pada masa gemilangnya, benar-benar sebagai emas hijau. Ketika itu mendapatkan satu-dua cangkir cengkih basah yang jatuh di tanah kebun milik orang, setara dengan penghasilan 1 batang pohon kelapa. Bedanya uang dari panen kelapa harus menunggu 30 - 40 hari, sedangkan dari cengkih jatuhan bisa tiap hari asal kita mau. Dari situlah petulangan kebun dan kemudian hutan dimulai.

Penghasilan dari cengkih jatuhan amat mewah untuk ukuran seorang anak kecil di kampung. Kawan-kawan kecil yang sungguh-sungguh mencurahkan waktu tiap harinya untuk mengumpulkan cengkih jatuhan, tak akan kuasa menghabiskan hasil celengan di akhir bulannya. Sebagian dari mereka memberikan seluruh hasilnya kepada orang tuanya. Dan sebagai hadiah dari orang tuanya, anaknya diberikannya izin untuk nonton bioskop keliling yang seminggu sekali singgah di pasar desa kami. Aneh ya, terbalik, padahal yang memberi hadiah adalah anaknya ke orang tuanya dari hasil penjualan cengkih jatuhan itu.

Adalah Ujang Jio sahabat kecil saya --Jio bukan nama lengkapnya, tapi nama bapaknya, dipanggil demikian untuk membedakan dari nama Ujang lainnya yang banyak bertebar di kampung. Ujang Jio menawarkan prospek yang lebih bagus pada saya. Katanya, mengapa harus lelah berkompetisi berkejaran dengan yang lain untuk mendapatkan cengkih jatuhan, sambil juga harus diusir-usir pemilik kebun? Dia menawarkan saya untuk ikut ke kebunnya di gunung. Dikatakanya di kebunnya di gunung; cengkih jatuhan jarang ada yang memungut, sedangkan dari memanen saja tidak tertampung. Jadi kalau mau ikut dia, lanjutnya, tak usah mungut cengkih di tanah; petik saja langsung dari dahannya. O ow, tawaran yang amat menarik. Tak perlu berpikir dua kali saya iyakan saja untuk ikut dengannya ke gunung di hari minggu.

Demikianlah di pagi minggu yang masih berkabut (embun), Ujang Jio telah menjemput saya dengan sepedanya. Perbekalannya kelihatannya cukup lengkap. Saya suruh langsung ikut saja, karena nasi timbel sudah dia siapkan. Dia membawa perkakas lengkap; golok, ketapel dan alat pancing. Inilah awal perjalanan pertama saya kenal dengan hutan dan gunung (perbukitan, tepatnya).

Saya duduk di bagasi belakang sepeda, menggembol tas berisi nasi timbel dan alat pancing. Golok diikatkan kuat di stang sepeda, sedangkan ketapel melekat berkalung di leher Ujang Jio dan juga saya. Ujang Jio mengayuh sepeda di depan dengan semangat dan muka berseri-seri. Kami berangkat menyusuri jalan desa berbatu ke arah utara. Gembor, Nengklok, Pajaten, Belembeng, telah kami lewati. Di Sidamulih jalan bercabang dua; ke kiri arah Cikalong Gunung terus ke Selasari sedangkan yang lurus adalah arah ke Cibodas, Kersaratu, Kalijati dan Pucuk Ibun. Kersaratu adalah tujuan kami.

Waterpang (tempat sungai dibendung) terletak di ujung kampung Sidamulih. Dari situ tidak ada kampung lagi sampai kemudian bertemu Kampung Cibodas. Suara gemuruh air Waterpang mengantarkan kami untuk memisah dari perkampungan dan masuk ke jalan hutan. Saya sungguh amat takjub dengan situasi yang berubah secara tiba-tiba. Jalanan mulai menanjak dan berliku, gemuruh air tersamar dan menghilang digantikan suara kicauan burung di sepanjang perjalanan di tepi hutan. Kami hanya dua mahluk kecil saja yang seolah tertelan lidah jalanan di hutan itu. Sepeda lebih banyak dituntun daripada dinaiki. Kami berdiam diri saja di sepanjang perjalanan di hutan itu. Ujang Jio mendramatisirnya untuk tidak berbicara jika lagi di hutan, pamali katanya.

Dan saya tak membantahnya sama sekali bukan karena pepatahnya Ujang Jio, melainkan hanyut dalam suasana takjub dengan lingkungan sekitar. Di kiri saya bukit berhutan lebat, di kanannya jurang bertutup tajuk pohon. Lepas ke bawah pandangan bebas melihat lekuk-liku sungai Cibodas yang berbatu dengan aliran yang jernih mengalir cukup deras. Pada tepian/sempadan sungai terkadang ada gubuk menghadap petak-petak sawah kecil berkontur; menampakan gemilau warna padi muda. Keheningan dan ketakjuban yang sempurna!

Di penghujung hutan jalan menurun dengan cukup tajam untuk menyeberangi sungai. Tak ada jalan dan jembatan untuk mencapai Cibodas kecuali menyeberangi sungai itu. Kami melewatinya dengan sukacita. Ujang Jio langsung memeragakan minum air sungai, saya mengikutinya segera. Dingin dan segarnya air seketika mensirnakan rasa lelah, dan menutup kesempurnaan pengalaman pertama saya mengenal hutan dari dekat.

Lepas dari sungai itu dan seterusnya perjalanan lebih banyak dengan jalan kaki, karena cukup sulit untuk menempuh jalan berbatu yang naik turun. Pada sepanjang perjalanan itu hamparan teras sawah berlatar kebun dan hutan di belakangnya, diseling rumah-rumah penduduk yang sudah kelihatan sepi karena para penghuninya telah berangkat ke kebun atau sawah.

Sekira dua jam perjalanan saya sampai pada kebun milik orang tuanya Ujang Jio. Pada kenyataannya kebun cengkihnya itu tidaklah sehebat seperti yang diceritakan pada saya sebelumnya. Pohon cengkihnya memang banyak dan rimbun dengan bunganya, tetapi saya kemudian tidak tertarik. Saya kemudian kehilangan selera terhadap pohon cengkih, karena ada yang menggantikannya. Saya lebih suka pada kebunnya; struktur dan komposisi vegetasi; serta lansekap luasnya. Di kebun Ujang yang luas ada berbagai pohon bertumbuhan semi liar, antara lain; karet, jenis-jenis kayu, belukar, dan pohon fenomenal; jengkol. Burung-burung kecil bertebaran, sekali-dua dijumpai jejak babi hutan, juga duri landak.

Ujang Jio kelihatannya suka dengan perubahan orientasi saya. Karena itu berarti dia tak perlu mengupah saya dengan cengkih atas jasa saya mengantarnya ke kebun. Dia memanjakan saya dengan cerita hutan dan binatang untuk menjamin agar di hari-hari berikutnya saya tetap mau diajak mendampingi ke kebunnya itu.

Tanpa diminta di akhir kunjungan pertama saya ke kebunnya, Ujang dengan cekatan naik pohon jengkol. Tidak memetiknya, melainkan menebas dahan-dahan yang penuh bergayut buah jengkol. Dikumpulkan dan dikupasnya jengkol itu sehingga memenuhi tas gembolan yang kami bawa. Tak cukup dengan itu, dikutipnya segala daun-daunan yang dapat dijadikan lalapan. Di bagian akhir dia menebas sebatang pohon pisang kepok yang telah matang satu sisir. Semuanya dikemas untuk saya. Mungkin ini sebagai panjar pada saya untuk selalu bersedia mengantar mendampinginya ke kebunnya di hari-hari mendatang.

Sore hari Ibu menyambut saya di rumah dengan cemas. Namun seketika romannya berubah ketika saya bercerita singkat sambil menaruh semua oleh-oleh dari gunung. Lebih-lebih ketika kusodorkan gembolan tas yang penuh dengan jengkol segar. Lalu dari saya ke Ibu, jengkol itu seolah sebagai panjar agar saya di minggu depan dapat diizinkan kembali pergi ke gunung. Meski tak berkata, saya menangkap signal izin itu. Itu adalah ‘voucher’ dari Ibu yang kemudian mengantarkan saya lebih jauh mengenal dan mencintai hutan.

Saya kemudian tersadar kembali dari kenangan lama itu setelah punggung berbalut ransel dari tiga anak muda itu menghilang dari pandangan saya. Saya memetik pucuk daun cengkih yang tumbuh di samping kedai itu. Meremas, menghirup dan mengunyahnya sedikit-sedikit. Lalu segera beranjak dari kedai***

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar