Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (14): Ibu

Seluruh tubuh terasa lemas tatkala menjenguk ibu yang tengah berbaring. Pelan beliau berusaha bangkit, seketika kucegah. Beliau memandang saya, mulanya dengan tatapan kosong. Mukanya terlihat pucat. Sejurus kemudian berusaha tersenyum menyambut saya. Saya tak kuasa menatapnya, refleks kucium dan kepeluk erat. Cukup lama, hening, sampai kemudian saya berpaling dan menunduk untuk menyembunyikan rembesan air mata saya.

Sepanjang usianya, inilah pertama kali ibu mengaku sakit pada anak-anaknya. Untuk pertama kali dalam hidupnya beliau dirawat di rumah sakit. Pertama kali pula beliau merasakan diinfus dan didorong di kursi roda. Pada hari kelima beliau sudah bisa makan. Sungguh anugerah yang luar biasa saya bisa diberi kesempatan dapat menyuapi ibu makan. Rasanya tak ingin sejenak pun saya lepas dari merawat ibu.

Ini adalah tepat sebulan sejak ibu sakit. Sekarang ibu dirawat jalan di rumah dalam awasan yang ketat dari kakak saya. Dan baru saja saya tiba di rumah, dari menengok kembali ibu. Wajah ibu sekarang sudah kembali memerah. Kontras dengan warna rambutnya yang telah memutih semua. Tiga buah gigi depan sudah tanggal, tapi tak menghalanginya untuk tersenyum lepas. Wajah ibu kembali memompa spirit hidup saya. Wajah ibu mengantarkan saya menerawang kembali ke masa-masa saya paling dekat dengan beliau, yakni ketika masa SMA.

Pada masa SMA status saya berubah menjadi ‘sulung’, sebab seluruh kakak saya telah meninggalkan rumah. Kakak tertua lebih dahulu pergi mengadu nasib ke Bandung, disusul kakak kedua pergi ke Papua menjadi relawan sosial, dan yang terakhir kakak ketiga pergi ke Sumatera menjalani undangan pendidikan kesehatan. Seluruh kakak saya pergi dari rumah nyaris tak dibekali apapun, kecuali selembar izazah SMA; seperti janjinya ayah bahwa hanya itulah yang dapat dibekalkan pada anak-anaknya.

Demikianlah dengan status baru sebagai ‘sulung’ itu maka curahan perhatian ibu penuh pada saya. Boleh dikata hampir semua permintaan saya selalu beliau penuhi, bahkan sebelum memintanya. Itulah naluri seorang ibu, bisa membaca keinginan anaknya sebelum anaknya meminta. Ini tentu jauh berbeda dengan naluri seorang istri, kadang pada permintaan kedua atau ketiga; baru kopi kental dibikinkan untuk saya. —Bukan begitu? coba saja cocokkan..!— Kepekaan naluri istri hanya berlaku pada anak-anaknya saja.

Di meja makan tempat saya belajar ibu kadang menyediakan es tomat, lain waktu gembus, awug, bandros, atau bahkan kejutan lapis legit. Begitu saja terhidang sebelum saya minta. Atau ibu menambah uang saku saya satu sampai lima ratus rupiah dari biasanya yang diletakkan di galar atau palang dada. Masih ingat palang dada? Jika lupa datanglah berkunjung ke rumah ibu di kampung. Karena rumah ibu adalah segelintar dari rumah yang tersisa dimana masih ada palang dada-nya.

Bagaimana ibu tidak peka pada kebutuhan saya, sedangkan pada orang lain saja ibu begitu sensitif. Ibu bisa membaca kebutuhan orang lain baik kerabat, tetangga atau orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Dan luar biasanya, ibu seringkali mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhannya sendiri.

Itulah yang kadang sering menjadi pertengkaran kecil dengan ayah. Ayah sudah sangat sering sekali menasihati ibu agar pandai berhemat dan menabung. Tetapi sesering itu pula diabaikan ibu. Ayah terkadang marah betul dengan sikap ibu yang tak berubah. Katanya keterlaluan, pantasan saja tak pernah punya apa-apa! Jika dimarahi demikian maka ibu sembunyi dari ayah dan anak-anaknya, dan menangis.

Suatu kali ibu pernah membela diri, tapi anehnya pembelaan itu disampaikannya kepada saya, bukannya pada ayah. Ibu kepikiran sama anak-anaknya yang telah pergi dari rumah, sedangkan mereka tak diberi bekal yang cukup; bagaimana jika perlu pertolongan di perantauannya, siapa yang akan bantu? Karena itu ibu menolongnya dari jauh. Demikianlah alasan yang dapat diungkapkan ke saya. Ibu memiliki keyakinan yang kuat bahwa jika ibu menolong siapapun yang butuh pertolongan dengan hati ikhlas, maka anak-anaknya nanti dimanapun ketika membutuhkan pertolongan mungkin akan ada yang membantunya pula. Dan ibu melanjutkan, janganlah pandang-pandang orang kalau mau menolong. Tidak penting besar kecilnya, melainkan dari keikhlasannya.

Keyakinan dan kata-kata ibu itu benar-benar bertuah dan sangat terbukti kebenarannya. Jika ada kesempatan reuni kumpul dengan saudara-saudara, kami selalu saling bercerita tentang perjalanan hidup masing-masing. Seringkali pada saat-saat kami genting memerlukan pertolongan di tempat jauh di perantauan tiba-tiba saja pertolongan itu datang dari sumber yang tidak disangka-sangka.

Jiwa sosial ibu benar-benar telah mengurat dan mendarah daging. Tindakan sosialnya saya amati kadang sungguh luar biasa, spontan nyaris digerakan dari alam bawah sadarnya. Namun pada sisi lainnya benar juga apa yang dikatakan ayah, bahwa dari dulu ibu tak pernah memiliki apa-apa. Seingat dan seumur hidup saya, saya tak pernah melihat ibu seperti umumnya yang lain memiliki dan mengenakan perhiasan gkalung, cicin, gelang atau anting emas. Sebagaimana halnya saya tak pernah melihat ibu sakit sampai harus dirawat di rumah sakit –kata ibu mudah-mudahan kejadian dirawat di rumah sakit yang baru lalu adalah pengalaman pertama sekaligus pengalaman terakhirnya.

Tetapi kemudian ayah menyadari sepenuhnya, demikian juga kami anak-anaknya. Bahwa kekayaan ibu sesungguhnya jauh-jauh berlipat dari segala perhiasan. Entah berapa orang atau keluarga, yang tidak memiliki hubungan darah apapun, tetapi kemudian menjadi kerabat yang erat karena ulah ibu. Konon lagi terhadap yang masih memiliki ikatan kekerabatan; kerbat jauh atau dekat. Entah berapa orang pula yang telah dibantu ibu dicarikan pekerjaan, yang ibu peroleh dari jejaring sosialnya.

Ibu mengenal dan dikenal baik oleh seluruh keluarga dari kawan-kawan akrab kakak-kakaknya ibu. Ibu adalah anak paling bungsu dari enam bersaudara, dan hanya tinggal ibu seorang yang tersisa dari saudara-saudaranya saat ini. Di keluarga pihak ayah, ibu justru lebih dikenal daripada ayah sendiri.

Ibu dapat menelusuri para sahabat masa kecilnya yang tersisa, sejarak lebih dari setengah abad hanya sekedar untuk mengetahui keberadaan dan kesehatan teman-teman kecilnya dulu. Rekor paling lama tidak berjumpa dengan orang adalah sejarak lebih kurang 60 tahun. Sekarang tentu seorang kakek renta, teman sepermainan kecil ibu di tepi Sungai Citanduy waktu di Banjar.

Ibu mengenal semua kawan akrab anak-anaknya termasuk dengan para orang tuanya. Dan sampai sekarang, termasuk dengan teman-teman akrab saya, ibu masih menjalin silaturahmi. Saya kadang malu, saya sendiri dengan kawan akrab sudah lama tak bersua, tapi ibu kadang-kadang masih berkomunikasi dengan mereka.

Ibu memiliki kekayaan kenalan yang sangat luas. Hal itu bukan keluar dari penilaian saya sebagai anaknya. Melainkan sering saya dengar dari tetangga atau kerabat jauh yang sudah lama tak berjumpa. Kenalan ibu menembus batas strata sosial, kadang aneh dan tidak terduga. Para tetangga dan kami anak-anaknya kadang dibuat terbengong-bengong dengan cerita dan kenalan ibu.

Ibu mengenal orang dari yang papa sampai setingkat pejabat. Waktu saya SD saya ingat betul ada orang kurang waras yang kadang selalu dibungkuskan makanan untuknya. Anehnya orang itu jadi berubah “waras sejenak’ ke ibu, dia kadang (tentu juga kalau warasnya lagi datang) membantukan ibu menimba air sumur memenuhi bak mandi. Ibu jika pulang dari kota selalu membawa karung berisi pakaian-pakaian bekas yang dibagikan kepada siapa saja yang memerlukannya.

Ibu bisa kenal dan komunikasi dengan turis bule yang kesasar atau turis yang tiba-tiba perlu pertolongan darurat karena ingin tempat untuk buang air. Tentu saja dengan bahasa tarzan. Pengalaman ibu terakhir yang dituturkan oleh kakak, sewaktu ibu berkunjung ke daerah Ciamis Utara (ke tempat besannya). Keluarga besan terbengong-bengong karena datangnya diantar dan dikawal mobil nomor 2, pejabat kabupaten. Padahal dari rumah berangkatnya naik bis. Ibu juga sering mendapat tumpangan gratis jika bepergian. Ibu sering mendapat sapaan dari pelosok kampung udik di gunung, sampai dari luar negeri seperti Belanda, Hongkong dan AS. Ibu disapa justru oleh teman-teman akrab anak-anaknya, yang kami sendiri belum sempat pernah bertemu lagi ketika hijrah dari kampung.

Kata saudara saya yang ada di kampung. Ruangan dapur tak pernah sepi dari tetangga yang ditolong oleh ibu, meski bentuk pertolongan itu hanya sekedar menjadi pendengar yang baik atas keluh-kesah kehidupan mereka. Kata ibu, mendengarkan dan memberi perhatian saja merupakan bentuk pertolongan, karena dengan itu orang yang telah curhat biasanya merasa diri menjadi lega (secara psikologis).

Ibu bersosialisasi dengan berbagai strata sosial dan sama sekali tak dibeda-bedakan. Semua dianggap sama. Seorang pejabat setingkat Dirjen pada masanya aktif menjabat, setiap kali ke Pangandaran selalu berkunjung ke ibu serta mengobrol di dapur. Tetapi tetangga tak ada satupun yang tahu bahwa tamunya kali itu adalah Dirjen. Saya dulu menduga bahwa itu adalah kerabat dekat ibu. Tetapi belakangan bercerita bahwa itu adalah kerabat yang didekatkan oleh nenek dari ibu, buah silaturahmi nenek.

Ibu juga kenal dengan kuncen (juru kunci) penjaga kuburan. Karena tenyata ibu juga suka bersilaturahmi bahkan dengan orang yang telah tiada (berziarah). Silaturahmi ibu sungguh sempurna di mata saya. Kalau ingin bukti, coba tanyakan kepada tetangga di lingkungan dimana ibu tinggal. Sempurna, karena tidak saja bersilaturahmi dengan orang hidup dan mati, tetapi juga dengan pohon-pohon. Hampir seluruh pohon yang disentuh (dipelihara ibu) pasti tumbuh subur dan berbuah lebat. Para tetangga sering memuji-muji ibu dan meminta rahasia menanam/merawat pohon. Dan ibu dengan senang hati membagi-bagikan bibitnya.

Demikian antar lain ‘keanehan’ ibu. Saya sering dibuat takjub. Ibu tidak memiliki harta apa-apa yang berarti selain sebidang tanah dimana rumah bilik bambu sekarang berdiri, tempat bernaung di usia uzurnya. Ibu tak memiliki sebentuk apapapun perhiasan. Tetapi ibu memiliki kekayaan yang luar biasa, yakni kekayaan jaringan sosialnya. Semuanya adalah buah silaturahmi dan buah pertolongan tulus yang selalu ibu lakukan. Ibu tidak pernah kurang makan dan nyaris tidak pernah sakit. Dari situ saya makin teguh atas kekuatan silaturahmi, bahwa silaturahmi dapat menjamin/membawa rezeki dan memperpanjang umur (jarang sakit).

Ibu sekarang sudah sepuh. Ibu sudah tidak kuat lagi bepergian.
Ya Allah kabulkanlah permintaan saya. Sebelum nanti Kau panggil ibu, wariskanlah seluruh jiwa sosial dan silaturahminya pada kami anak-anaknya. Dan jika telah Kau panggil ibu, temanilah untuk sampai ke haribaan-MU dengan doa dan kebaikan sejumlah orang-orang yang ibu kenal dan telah berbuat kebaikan padanya. Amin!

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar