Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (9): Oto Osmar


Oto Osmar. Beliau adalah guru favorit yang mengantarkan saya menyukai pelajaran matematika. Itu bukan berarti dengannya kemudian saya jadi pintar dan ‘ngelotok’ dengan rumus-rumus matematika. Sama sekali tidak, tak ada satupun pelajaran yang masih melekat dalam pikiran tentang aljabar dan aritmetiknya itu. Kecuali satu, yakni tentang pelajaran ‘matematika kehidupan’; pelajaran yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hayat.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran dasar dan utama, yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Jika berkesempatan sekolah sampai tamat S-1, maka itu berarti belajar matematika selama 16 tahun! Jangan dikira di jenjang S-2 dan S-3 tidak belajar matematika, lebih gawat lagi! Matematika selalu menjadi mata ujian dalam setiap kelulusan atau seleksi akademik. Orang yang punya nilai matematika bagus dianggap sebagai orang yang cerdas/pinter. Sebuah nilai akumulatif/rata-rata yang istimewa, katakan rata-rata 8,5; tidaklah dianggap afdol atau sempurna jika nilai matematikanya jeblok.

Mata pelajaran matematika menjadi penentu serta mendapatkan gengsi yang lebih jika dibanding dengan mata pelajaran lainnya. Hal itu masuk akal karena tidak gampang juga belajar matematika; susah, susah dan susah. Bagi sebagian besar siswa, di jenjang pendidikan manapun, matematika selalu menjadi momok yang menghantui serta selalu meneror setiap kali ujian/test berlangsung. Hari-hari belajar matematika di kelas memang selalu penuh dengan ketegangan dan ke-seurieus-an.

Tetapi anehnya seluruh citra tentang pelajaran matematika yang horor, susah, tegang dan seurieus tersebut tiba-tiba rontok begitu saja manakala matematika disajikan oleh seorang ‘guru besar’ saya, yakni Bapak Oto Osmar.

Bapak Oto Osmar adalah salah seorang guru SMA N Parigi yang diperbantukan di SMA N Pangandaran. Beliau mengajar kami pada semester I dan II. Perawakannya gempal; gemuk tetapi tidak sampai gendut. Kulitnya hitam gosong bekas terbakar matahari (di kampungnya di Parigi beliau juga suka bertani). Pipinga sedikit tembem dengan dagu agak berlipat karena gempalnya tadi. Pakaian yang selalu dikenakan beliau adalah setelan baju safari abu atau safari batik, lengkap dengan peci/kopiah hitam yang selalu setia bertengger di kepalanya. Pak Oto, demikian lebih pupuler dan akrab dipanggil, kehadirannya di kelas selalu dinantikan.

Beliau menghidangkan matematika di kelas dengan penuh ke-rileks-an dan keriangan. Dalam sejarah saya, sejak pendidikan dasar hingga pasca, belum pernah rasanya menerima ajaran matematika se-rileks dan se-riang itu. Pertama dan satu-satunya dalam sejarah saya belajar matematika di kelas dengan diselingi nyanyian. Lagu legendaris yang menjadi kesukaannya adalah ”Teluk Bayur” yang dinyanyikan bersama-sama. Mantaaap! Di kelas, Pak Oto tidak akan sungkan menceritakan berbagai pengalaman hidupnya terutama kisah perantauannya waktu di Kalimantan. Diselingi humor tipis dan tanya jawab dengan kombinasi bahasa Sunda. Demikianlah cara beliau mengajar, para siswa diajak lebih dahulu ke dalam suasana hati yang ceria sebelum mencicipi hidangan bab per bab matematika. Sangat jarang sekali memberikan PR (pekerjaan rumah). Bagi yang suka berlatih silakan saja, katanya suatu ketika.

Saya sangat senang sekali proses belajar dalam suasana seperti itu. Dan alam bawah sadar mulai bergerak; ‘matematika yang tegang’ berubah menjadi ‘matematika yang senang’. Dari situlah minat saya terhadap matematika mulai tumbuh. Tumbuhnya minat terhadap matematika tersebut terus saya pelihara, setelah saya tahu ‘rahasia’ belajar matematika dari Pak Oto.

Demikianlah; suatu kali kami berkesempatan berdua saja (saya dan Pak Oto) sepeneduhan dari menunggu hujan reda. Tempatnya di emper toko depan pojok utara-timur lapangan bola Samudera. Untuk memecahkan kebekuan kami, saya bertanya pada beliau: “Apa sih rahasia atau tips/trik belajar matematika agar berhasil/sukses?”.

Beliau menoleh dan memandang saya dengan sangat lekat, sejurus kemudian pandangannya dialihkan pada butiran-butiran hujan yang luruh di atas hamparan lapangan bola. Kemudian berujar:

“Belajar matematika itu sangat gampang sekali. Kamu nanti akan membuktikan setinggi apapun kamu sekolah belajar matematika itu hanya empat hal saja, yakni mengurang, menjumlah, mengali dan membagi. Sampai saat ini tak ada operasi matematika selain dari itu. Jadi jika kamu sudah bisa mengurang, menambah, mengali dan membagi maka sudah cukuplah untuk menguasai matematika. Selebihnya adalah logika, berlatih dan berlaku adil”. Tanpa saya sela dengan pertanyaan lain, beliau melanjutkan. “Sedangkan logika itu adalah akal sehat. Logika itu naluri atau fitrah. Dia tak bisa dipelajari tetapi bisa dilatih. Logika yang jernih akan muncul dengan sendirinya dari pikiran serta hati yang jernih pula (jujur). Sedangkan sang legendaris petinju dunia Muhamad Ali mustahil jadi juara jika tidak pernah latihan. Demikian juga matematika, tidak mungkin akan mengerti dan terampil jika tidak pernah berlatih”. Sungguh penjelasan yang sederhana dan sangat mengena.

Satu hal yang tidak saya mengerti kemudian saya tanyakan; Apakah hubungannya matematika dengan berlaku adil? Kelihatannya beliau memang memberi jeda untuk memancing dan menunggu pertanyaan lanjutan saya. Sebelum menjawab beliau menghela nafas agak dalam, dan dengan tanpa menoleh pandangan dari butir-butir hujan kemudian melanjutkan.

“Sesederhana apapun, serta sadar atau tidak sadar, matematika itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan dari seluruh operasi matematika itu, maka operasi pembagian adalah yang paling pelik. Karenanya, operasi matematika itu perlu didukung oleh rasa keadilan dan kejujuran yang tinggi. Dan kamu tak akan mengerti perjelasan ini, karena kamu baru akan memahaminya dalam perjalanan hidupmu kelak”.

Dalam realita perjalanan hidup ternyata memang benar adanya. Dan saya baru memahami penjelasan Pak Oto tersebut. Sungguh memang operasi matematika “membagi” jauh lebih sulit dan pelik. Contoh itu bisa kita temukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Misalnya; membagi waktu, membagi peran dan tanggung jawab, dan lebih-lebih lagi membagi keuntungan, termasuk juga membagi warisan. Sungguh benar operasi matematika dalam kehidupan nyata tidak cukup lagi dihitung hitam-putih di atas kertas, melainkan mesti ditopang dengan hati, dengan kejujuran dan dengan keadilan.

Setangkai mawar merah dan sebentuk peci/kopiah hitam ingin sekali saya persembahkan pada beliau. Tetapi engkau kini telah tiada. Semoga istirahatmu di alam sana penuh dengan ke-rileks-an dan kesenangan, sebagaimana engkau telah memberikannya kepada kelas kami. Dan saya tidak akan melupakanmu, karena saya selalu mengulang-ulang perkataanmu pada anak-anak saya untuk mendorong motivasi belajar matematika dan belajar hidup. ***
(bersambung)

1 komentar:

  1. Saya bangga membaca tulisan anda, saya juga orang desa yang pernah belajar di sman parigi...banyak guru2 yang punya karakter membentuk kepribadian kita. Salam kenal dari saya...mungkin saya lebih tua 8 - 10 th dari anda...sukses dan semoga Alloh Swt memberkahi kita sekalian

    BalasHapus