Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (10): Malangnya

Selain Bapak Oto Osmar, ada beberapa lagi guru di semester pertama ini yang singgah dan menoreh kenangan di masa remaja. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar guru-guru kami di semester pertama ini adalah guru ‘bon-an’ alias guru yang diperbantukan, yang mungkin telah banyak terlupakan. Meski tidak ingat lagi selengkapnya, saya ingin mengenang beliau-beliau apa adanya sebagaimana yang tersisa dalam labirin memory yang makin menyempit.

Pak Yohandi. Beliau adalah guru IPA kami waktu di SMP, tetapi ke-IPA-annya baru benar-benar tampak ketika beliau mengajar kami selama satu tahun di SMA N Pangandaran. Pembawaannya sabar dan lembut tetapi lugas dalam menerangkan konsep-konsep yang paling dasar dari pelajaran Kimia. Saya menikmatinya tetapi saya melihat beliau nampaknya lebih menikmatinya lagi. Saya pikir itu karena apa yang beliau kuasai sampai sejauh itu tak dapat terekspresikan di SMP. Saya tidak tahu, tetapi heran saja dan menyesal mengapa beliau tidak terus saja mengajar di SMA. Yang lebih menyesal lagi mengapa saya dulu tak pernah sekalipun berkunjung ke rumahnya, padahal di sana ada sesuatu yang lebih mendasar lagi dari hanya sekedar ‘unsur/zat’, ‘susunan berkala’, serta ‘persamaan reaksi kimia’; karena di rumahnya beliau ada suatu ‘unsur’ yang sangat lembut, yakni; Rita. –dimana gerangan engkau sekarang?

Ibu Titi. Beliau mengajar Biologi sama seperti asuhan mata pelajarannya di SMP N Pangandaran. Beliau mengajar selama satu tahun juga, dan pada semester kedua beliau menjadi wali kelas kami di Kelas I IPA5. Tidak ada sesuatu yang terlalu istimewa dari ibu Titi ini, kecuali satu; bahwa kelas harus waspada kalau melihat hidungnya yang mulai mengkilat (karena bulir keringat). Karena itu menjadi penanda bahwa beliau sedang kesal atau marah pada kelas. Saya tentu akan selalu mengingatnya karena di masa tuanya, beliau pindah rumah selang dua atap dari rumah orang tua di kampung.

Bapak Elan. Ada dua nama Bapak Elan di SMP Pangandaran, yang saya maksud adalah Bapak Elan yang dari Sucen, Cibenda. Seingat saya beliau pernah mengajar IPS beberapa saat sebelum datang guru-guru muda sebagai penggantinya. Ingatan saya kuat beliau mengajar di bulan-bulan pertama, karena kesan unik saya (dan saya pikir semua kelas) bahwa beliau adalah orang yang benar-benar tidak pernah marah di kelas, segaduh atau ‘secuek’ apapun kelas. Saya pikir memang begitu seharusnya, guru tak patut marah-marah di depan kelas. ;-) Sanes kitu? Nya heueuh!

Bapak Abas. Beliau mengajar Bahasa Indonesia di SMA sangat singkat sekali mungkin sekira 3 atau 4 minggu sebelum diganti oleh Pak Ading, dan sesudah ada penggantinya beliau kembali mengajar di SMP. Dalam asuhannya yang sangat singkat itu sama sekali saya tak pernah melihat beliau membawa buku dan benar-benar serius mengajar Bahasa Indonesia. Yang lebih sering diutarakan di kelas lebih banyak cerita saja diselingi petatah-petitih, benar-benar itu hanya untuk mengisi waktu dan kekosongan belaka. Tapi justru petatah-petitih itulah yang masih saya ingat. Selain bekerja mengajar sebagai guru beliau adalah seorang agen koran Pikiran Rakyat pertama dan satu-satunya di Pangandaran ketika itu. Kadang-kadang koran itu (yg tersisa dan tak laku) dijadikan hadiah kepada siapa saja yang dapat menjawab dengan sempurna quiz-quiz yang disampaikan di kelas.

Satu-satunya guru dari sekolah induk SMA N Banjar yang diperbantukan ke SMA N Pangandaran sama sekali saya tidak mengingat namanya, maafkan saya Kek. Ya, beliau ini sudah kakek-kakek tetapi amat sangat enerjik jika mengajar Fisika di kelas. Daya pesona mengajarnya sampai melupakan sosoknya sendiri, itulah mengapa nama dirinya tenggelam dan terlupakan oleh pesona mengajarnya. Seluruh pelajaran Fisika beliau peragakan secara sederhana dengan memberi contoh-contoh nyata dari lingkungan alam sekitar dan keadaan sehari-hari. Luar biasa! Saya menduga bahwa guru-guru di kota kualitasnya adalah seperti beliau ini sehingga pantas saja orang-orang banyak mengejar sekolah ke kota, pikir saya ketika itu. Tak lama berselang, sekira 2-3 bulan kemudian guru Fisika diganti oleh guru yang sangat kontras usianya. Karena guru penggantinya itu masih muda (sekira cucunya kakek guru tadi) dan tentu saja masih lajang. Beliau adalah Ibu Rosmalia. Spirit dan pesona Fisika di kelas diteruskan dan disempurnakannya dengan pesona kecantikannya. Seorang kawan akrab tanpa tedeng aling-aling curhat pada saya bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta pada Fisika dan gurunya. Dua guru itulah yang telah mengantarkan saya gemar pada Fisika hingga kini. Dan setahun tiga sampai empat kali saya updating ke Bandung untuk memuaskan dahaga akan Fisika, berfokus pada meta-Fisika –sesuatu yang berhubungan dengan aktualisasi saya saat ini.

Ada beberapa guru lagi yang menoreh kenangan di minggu-minggu atau bulan-bulan pertama sekolah. Ada Pak Iing Aburahman guru agama yang kemudian digantikan oleh seorang guru ajengan (maaf yang ini juga lupa namanya) dari Parigi, dan kemudian digantikan lagi oleh guru tetap yakni Bapak Otong. Yang terkahir ini dari sisi perawakan lebih mantap lagi sebagai guru agama karena badannya tegap, kulit putih wajah bercambang dan mata agak sipit mirip orang Asia Tengah. Demikian juga adik perempuannya yang dibawanya sekolah di SMA N Pangandaran (adik kelas), sama tegap/sintalnnya serta putih berkilau. Kawan akrab saya yang lain pernah berbisik pada saya bahwa dia menaruh hati pada adiknya. Tapi sama sekali tak diceritakan kepada yang lain karena dia merasa akan bingung atau konflik, karena nama kawan akrab saya itu sama persis namanya dengan kakaknya si putih sintal. Oalah, aya-aya wae.

Bapak Ubad Badarudin. Beliau adalah “Kepala Sekolah” SMA N Pangandaran. Itulah pandangan dan perasaan kawan-kawan seangkatan, karena beliaulah yang betul-betul kelihatan dan terasakan sebagai lokomotif sekolah. Bapak Ubad ini mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Saya ingin mengisahkan kenangan beliau ini secara khusus nanti. Tetapi salah satu yang saya ingat pada minggu-minggu pertama sekolah beliau kelihatan cukup stres ketika guru kesenian tak juga kunjung muncul. Sehingga suatu kali beliau mengajarkan melukis di kelas. Kami disuruhnya menggambar perspektif sebuah kotak sampah. Dapat ditebak kritisi beliau atas hasil-hasil lukisan kami lebih berfokus pada garis-garis perspektif dan bayangan dan dikupasnya mirip seperti mengupas Moral Pancasila, dengan senyumannya yang khas dan tak lepas.

Sementara sampai saya mengingat-ngingat lagi yang lain, saya hendak menutup kisah sosok guru dalam kenangan di semester I ini dengan mengetengahkan bapak saya, Bapak Suwarno. Bapak Suwarno layak saya sebut sebagai Bapak atas dua alasan. Alasan pertama karena beliau mengajar saya Bahasa Inggris selama enam tahun. Tiga tahun di SMP dan tiga tahun lagi di SMA. Sungguh sebuah rekor tersendiri. Bayangkan saja, saya belajar di SD selama enam tahun pun gurunya selalu berbeda setiap tahunnya. Atau dengan kata lain setiap tahun saya bersua dengan guru baru, paling banter seorang guru yang sama mendampingi saya belajar tiga atau empat tahun paling lama. Tetapi Pak Suwarno, sekali lagi mengajar saya selama enam tahun dari SMP kelas I sampai tamat SMA kelas III. Tidaklah mengherankan saya merasa dekat dengan beliau dan menganggapnya sebagai Bapak. Tetapi enam tahun belajar Bahasa Inggris tak juga membuat saya cas-cis-cus ngomong Inggris. Saya memiliki kelemahan dari kecerdasan linguistik, demikian dari hasil beberapa test kecerdasan yang pernah saya jalani. Alasan kedua, ini lebih kepada harapan yang menggebu ketika itu suatu saat kelak setelah saya meraih mimpi (cita-cita) benar-benar Bapak Warno ini dapat menjadi bapak yang sesungguhnya. Maksudnya bapak mertua ;-) hua ha he
;-). Tetapi harapan itu kandas dan hanya tinggal harapan. Malangnya. Tak mengapa itu semua tak sedikitpun menurunkan apresiasi dan penghormatan saya pada bapak saya, Bapak Suwarno.***

(bersambung)

1 komentar:

  1. Kang adek pak Otong tuh Ade Rofikoh...asli Kawali..teman seangkatan...Putih dan body kaya Audi...Aku pernah ikut pulang ke Kawali beberapa hari...Dimana ya Ade...juga pak Otong yang Phobia kodok?

    BalasHapus