Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (8): Intelejen


"Selingkuh itu indah". Pernah dengar ungkapan picisan itu? Itu adalah dusta besar, dan sama sekali jangan dipercaya! "Mencontek itu indah". Nah, kalau yang ini boleh jadi mungkin benar.

Kelas kami pada semester pertama cukup padat. Hal itu terjadi karena pada semester pertama itu belum dijuruskan dan ditambah lagi digabung dengan siswa SMA PGRI. Siswa SMA PGRI Pangandaran angkatan pertama itu pada kenyataannya yang istiqomah berlanjut bersekolah jumlahnya tidak sampai dua puluh orang tetapi hanya belasan saja (mungkin 18 orang kalau tak salah). Jumlah itu ‘dititipkan’ dan dibagi merata pada dua kelas. Saya menduga ada dua alasan penggabungan itu. Pertama untuk efesiensi proses belajar-mengajar karena guru yang masih terbatas, dan kedua mungkin agar merasa tida tersisihkan dan mendapat perlakuan yang sama dengan SMA Negeri sebagaimana dijelaskan/dijanjikan pada masa orientasi sekolah.

Saya kebagian kelas yang diperwali oleh Bapak Kusmana. Pak Kusmana adalah guru SMA N Parigi yang diperbantukan ke SMA N Pangandaran. Pada semester pertama itu beliau mengajar di dua tempat, Parigi dan Pangandaran. Baru pada semester kedua kelihatannya waktunya sepenuhnya dicurahkan untuk SMA N Pangandaran.

Sungguh sulit untuk mengingat kembali semua kawan-kawan pada kelas semester pertama ini. Untuk kawan-kawan pria yang saya masih ingat antara lain Enceng, Ipin, Iyus, Yusuf, Nana, Asep, Sukmana, Sudarsono, Wawan, Ato, Jasa, Dwi, Mitro, Ade Ma’ruf; sedangkan perempuannya Enok, Sri Lasmawati, Surtikah, Wagini, Sri Mulyani, dan Bety. Satu orang kawan dari SMA PGRI yang masih saya ingat adalah Usman –dimana ayeuna maneh euy?

Saya ingin memulai kisah-kisah kenangan di kelas semester pertama ini dengan jawaban atas pertanyaan yang sering kulontarkan jika bersua dengan kawan lama. Pertanyaan itu standar; apa yang paling berkesan dari kelas kita dulu?

Sebut saja Bety, misalnya. Bahkan sebelum ditanya sudah cerita pada suaminya. “Ini lho Pah si GG itu, dia adalah sumber ‘pencerahan’ bagi ‘genk’ di kelas kami”. Waktu pertama kali saya tak mengerti apa maksudnya. Tapi Bety dengan riang dan renyah menjelaskan: “Jika GG ini dapat nilai sembilan, maka hampir sebagian kelas akan meraih angka sembilan juga”. Kesan Bety itu selalu saja diulang-ulang jika saya bersua pada kesempatan lain. Terakhir saya menyambangi tokonya di Pangandaran juga cerita hal yang sama. Bedanya ketika itu dia sambil memperlihatkan tangannya yang merinding, karena ketika diam-diam kusapa rupanya pas sekali pada saat pikirannya menerawang mengenang masa SMA katanya.

Ada banyak kawan lain lagi yang punya kesan yang sama seperti yang diungkapkan Bety. Apalagi pada si Wawan, Dwi Gita dan Yayat. Pada ketiga orang ini saya dulu menyangka dan sempat memberi penilaian bakat padanya. Bahwa karir yang cocok untuk mereka adalah menjadi agen intelejen atau sekurang-kurangnya menjadi konsultan untuk sebuah perusahaan kurir. Bagaimana tidak? mereka berdua sangat piawai sekali dengan urusan ‘intelejen’ contek-mencontek dan membagikannya kepada seluruh kelas dengan rapi tanpa terendus jejak oleh guru.

Rekornya itu tak tercela dan terbukti, selama 3 tahun itu, tidak ada kasus misalnya mereka diisolasi atau diperingatkan oleh guru. Seluruh alat bisa digunakan sebagai media ‘intelejen’ mulai dari alas kaki sampai alas kepala (topi), demikian halnya seluruh alat belajar (pulpen, kertas, dll) dan lingkungan kelas (meja, kursi, dan juga dinding kaca kelas yang berfungsi cermin). Dalam situasi-situasi gawat pun, misalnya karena pengawasan ulangan/test yang ketat, bahan yang nempel di badan yakni kancing baju bisa menjadi solusi jika mentok/gelap sekali memilih jawaban.

Jika mengingat kenangan yang ‘populer’ itu yang saya petik dari kawan-kawan lama, saya kembali menerawang dengan senyum simpul. Antara senyum puas, senang, lucu, salah juga sesal. Senyum puas muncul karena ada perasaan menang atas sesuatu rasa ‘pemberontakan’ yang saya sendiri tidak memahaminya ketika itu. Perasaan salah dan sesal muncul karena saya sendiri menyadari menjadi seorang ‘supplier’ untuk urusan ‘intelejen’ tersebut tidaklah sehat. Sedangkan perasaan senang dan lucu muncul karena pada kenyataannya, sujurjurnya memang saya menikmatinnya. Ada dua alasan utama yang terus melenakan saya menikmati itu.

Pertama, dalam alam bawah sadar berkembang semacam naluri untuk ‘survival’. Karena dengan menjadi ‘supllier’ tersebut saya tidak pernah sepi dari traktir ongkos berangkat sekolah dan traktir jajan dari kawan-kawan. Bahkan saya dapat menyisihkan uang jajan dari rumah untuk ditabung dengan cara dimasukan ke lubang tiang bambu kandang ayam –untuk memastikan celengan tidak dibongkar sebelum waktunya. Ini sungguh-sungguh saya lakukan karena saya punya obsesi untuk melakukan petualangan/hiking ke Jawa di liburan semester pertama nanti.

Kedua, adalah strategi untuk mengembangkan jejaring sosial. Saya merasa perlu mengembangkan strategi jejaring sosial ini karena olah raga sebagai media jejaring sosial yang paling populer tidak cocok untuk saya, karena saya memiliki trauma dengan olah raga pada waktu SMP.

Saya pikir saya adalah satu-satunya siswa, baik semasa SMP maupun SMA, yang mengenakan kacamata. Ketika di SMP kacamata saya pecah pada saat olah raga, dan perlu waktu lebih kurang satu kwartal sehingga saya mendapat ganti kacamata lagi yang baru. Selama satu kwartal itu saya tersiksa karena melihat ke papan tulis harus meneropong dengan menggunakan pecahan kaca mata yang tersisa. Untuk kenangan trauma tersebut saya ingin mohon maaf kepada Dede Hendi Heryanto, yang pernah saya tonjok karena sempat menghindar dari bertanggung jawab. Begitulah dengan strategi jejaring sosial ini saya tetap dapat bergaul intens dengan kawan-kawan, tanpa harus terkena resiko pecah kacamata. Sedangkan satu-satunya olah raga yang paling saya suka, dan telah menjadi hobi sejak masa remaja sampai sekarang ini, adalah petualangan/hiking.***
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar