Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (11): Gugus Depan, Gugus Belakang


Di Gugus Depan (Gudep) mereka aktif. Mereka antara lain Sarji, Suswara, Edrus, Wawa, Tati, Data, Darsih, Ana dan banyak lagi yang lainnya termasuk Tintin yang centil dari Padaherang. Mereka sigap dan tegap dalam naungan panji Praja Muda Karana dibawah binaan Pak Nana Darna dkk. Sementara saya dan yang lainnya berada di ‘Gugus Belakang’ (Gubel). Saya sama sekali tidak aktif dalam pramuka, tetapi sangat suka dengan kepanduan dan petualangan. Tetapi ketika tiba saatnya Bantara, maka tak terkecuali seluruh siswa yang tidak aktif harus mengikutinya. Jujur saya tidak tahu apakah Bantara itu merupakan akronim serta jenjang ‘kepangkatan’ apa dalam pramuka. Saya tidak tahu dan itu tidak penting bagi saya. Saya hanya tertarik dan punya hasrat pada petualangannya saja.

Ada dua momen pramuka yang saya ikuti di Kelas I, sekaligus itu merupakan momen terakhir saya berpramuka. Karena sesudahnya saya dan beberapa kawan ‘berpramuka’ sendirian. Kami melakukannya dengan cara petualangan (hiking) menjelajah hampir seluruh pelosok kampung di sepanjang perbukitan yang terhampar di Ciamis Selatan. Pada sisi lain, ketika menginjak Kelas II hanya orang-orang yang aktif saja yang terus berpramuka mengasuh dan membina adik kelas, dan seterusnya.

Momen pramuka pertama yang wajib diikuti oleh seluruh siswa dilaksanakan pada tengah Semester I. Ini dapat dikatakan sebagai pendahuluan untuk Bantara. Momen itu dilaksanakan di Lapangan Kamurang di Desa Babakan, tidak jauh dari rumahnya Enung dan Lilis yang pisah kelas karena berbeda jurusan.

Kami ber-camping di sana sekira tiga malam. Kami beregu dengan kawan Enceng, Wawan, Sudarsono, Asep dan lainnya. Ini adalah pola pembagian regu alami. Maksudnya adalah sesuai dengan hukum alam, bahwa orang-orang yang ‘lemah’ cenderung begabung dengan yang lemah, begitu sebaliknya. Lemah dalam pengertian di sini adalah mereka yang lemah dalam pramuka, alias ‘Gubel’.

Jadi para ‘Gubel’ ini tak terkirakan betapa sulit dan kakunya dalam berbaris. Aba-aba atau komando sering direspon dengan cekikikan saja, kecuali jika di hadapan para guru yang berperan sebagai pembina langsung. Mereka jumlahnya terbatas dan kami tidak memiliki kakak kelas yang harusnya berfungsi sebagai pembina juga. Mana bisa kawan-kawan sebaya seangkatan yang aktif dan fasih berpramuka dapat menghukum kami. Dengan itu maka ‘kebebasan’ berpramuka kami hirup —para ‘Gubel’— dengan leluasa.

Bukit kecil di sisi utara lapangan adalah tempat kami para ‘Gubel’ menebak dan memecahkan ‘rambu-rambu pramuka Gubel'. Bukit kecil itu memang strategis; terlindung tetapi leluasa dapat mengawasi tenda-tenda di lapangan dengan segala aktivitasnya. Yang paling kuat saya ingat di atas bukit itu beberapa kawan melakukan permainan qyu-qyu. Itu adalah permainan modif dari gapleh/domino, bedanya dilakukan secara cepat dan instan. Tentu saja ada taruhannya, yakni rokok atau uang recehan. Dapat saya sebut beberapa kawan yang mahir sebagai master of qyu-qyu antara lain Asep, Enceng, Sutaryo, Sukmana dan … apa perlu saya sebut satu per satu?

Menjelang akhir Semester I, pramuka bersama kembali diadakan. Itu adalah akhir kewajiban berpramuka bagi para ‘Gubel’. Pramuka kali ini berbeda dan kelihatan serius karena ini adalah pramuka Bantara. Para pembinanya selain dari guru-guru muda yang telah pada berdatangan, juga para siswa senior dari SMA Muhamadiyah. Mereka diminta oleh sekolah kami untuk berperan sebagai kakak kelas untuk membina pramuka Bantara. Untuk persiapannya kami diwajibkan ikut latihan pramuka sebelumnya di sekolah, kalau tak salah dua atau tiga kali saja.

Tibalah saat Bantara itu. Kami menempuh jalan kaki (longmarch) untuk mencapai tempat camping di Selasari. Rute ditempuh dari Lapangan Samudera ke arah barat melewati Jalan Siliwangi. Berbelok di Sadiproyo ke arah utara menuju Sidomulyo, Bantar Kalong, Pajaten, Sidamulih, Cibeureum, Cikalong Gunung, Citumang terus sampai ke Selasari. Kami melewati jalan-jalan desa yang berbatu, saat itu belum ada sepenggal pun jalan desa yang beraspal.

Pada sepanjang perjalanan itu wajah-wajah berona merah dan bermandi keringat. Diiringi tatapan orang-orang kampung dan anak-anak kecil yang kagum serta membututi kami sampai batas-batas ujung kampung. Pada tengah perjalanan gerombolan regu-regu mulai bependar menjadi kelompok-kelompok kecil. Barisan menjadi memanjang dan makin memanjang dengan kelompok-kelompok yang makin mengecil serta sudah tidak peduli lagi dengan regunya. Beberapa orang menenteng sepatunya karena kakinya lecet.

Sesungguhnya jarak perjalanan itu tidaklah terlalu jauh (untuk ukuran saya ketika itu), tetapi rombongan terakhir ada yang baru sampai ke arena camping menjelang maghrib (berangkat dari Pangandaran sekitar jam 10 pagi). Sebelum itu saya telah menyusuri jalan-jalan itu, sewaktu SMP. Bahkan saya telah mencapai perkampungan di Cijulang dengan jalan kaki. Sejak remaja saya sangat menyukai berpetualang/hiking ke kampung-kampung. Hobi itu terus berlanjut hingga kini, karena dikemudian hari hobi itu sangat menunjang sekali dengan profesi/aktualisasi saya sekarang. Dan saya melakukannya sendiri atau berombongan.

Jika dibandingkan dengan berpramuka sebelumnya di Lapangan Kamurang, di Selasari ini bagi saya tidaklah terlalu berkesan. Kesan itu terganggu oleh cara pembinaan ‘kakak kelas’ dari SMA Muhamadiyah, yang memperlakukan kami di hari/malam terakhir lebih mirip perpeloncoan dari pada berpramuka. Saya masih ingat betul punggung-punggung regu kami diinjak-injak dan dibenamkan ke lumpur di sawah. Bagi yang lain mungkin dianggap biasa, tetapi bagi saya tidak. Saya melakukan pemberontakan kecil pada mereka, pemberontakan yang di kemudian hari menjadi bibit perkelahian dengan mereka.

Saya temasuk golongan orang yang tidak percaya bahwa kekerasan adalah bagian dari pembinaan/pendidikan. Kendati demikian bukan berarti saya juga tidak dapat melakukan kekerasan. Hal itu perlu dibedakan. Saya akan mengisahkan kenangan dari sisi kekerasan pada episod khusus, yakni kenangan kekerasan ketika berkelahi dengan anak-anak SMA Muhamadiyah dan ketika menghajar telak seorang preman terminal dari Cijulang.

Memang demikianlah, kenangan itu kadang bisa berbentuk kelucuan, kegembiraan, kelembutan, keprihatinan dan juga kekerasan. Semuanya menyatu. Seperti menyatunya nyala api unggun dengan bayang-bayang lidah api yang terpantul pada wajah kawan-kawan yang khidmat serta menyatu di penghujung acara pramuka.

Pada dimanakah engkau para anggota regu ‘Gubel’ sekarang berada?

Api unggun, lantunan lagu Syukur dan wajah-wajah.
Kerinduan yang dahsyat!***

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar