Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalan (12): Kalau Ada Miming ...

Di ujung Semester I menjelang pembagian raport orang-orang sibuk membicarakan jurusan. Padahal sederhana jurusan itu hanya ada dua pilihan saja, yakni jurusan IPA dan IPS. Tetapi tidak sedikit yang bingung dan menimang-nimang; masuk IPS atau IPA? Kegamangan saya lihat di mata si Agus, Wawan, Ato, Yayat, Sudarsono, dan Nana. Mereka seolah meminta semacam ‘jaminan’ pada saya untuk tetap setia menjadi ‘supplier’. Maka akhirnya bulatlah berketetapan mengikuti saya mengambil jurusan IPA. Pada kenyataannya pembagin jurusan tersebut bukanlah semata-mata atas pilihan keiinginan, melainkan dipertimbangkan berdasarkan nilai.

Masuk dan bergabunglah kami di kelas IPA 5. Ini hal yang keren tetapi bukan keren di IPA-nya melainkan di 5-nya. Orang menduga seluruh kelas IPA berjumlah 5 kelas. Tidak salah tetapi juga tidak betul sepenuhnya. Kelas IPA 1 sampai IPA 3 adanya di Banjar sedangkan IPA 4 dan IPA 5 adanya di Pangandaran. Seperti disebutkan terdahulu bahwa SMA N Pangandaran pada angkatan kami statusnya adalah filial dari SMA N Banjar.

Sekelas di IPA 5 kami ganjil bertiga puluh tiga orang terdiri dari 8 orang siswi dan 25 orang siswa. Hal pertama yang paling mudah diingat adalah nama-nama para siswinya. Hal itu bukan saja karena mereka cantik dan manis serta jumlahnya yang sedikit sehingga mudah diingat, melainkan diantara mereka begitu kuat terjalin kesetiaan. Dalam 5 semester berikutnya mereka para siswi tak bergeming sedikitpun melepaskan pasangan duduk sebangku-sebangkunya. Inilah dia:

Siti Sunarti berpasangan dengan Wagini. Pasangan ini saya pikir merupakan pasangan paling kalem di kelas. Siti berambut lurus dan selalu diikat, cermin dari sosok keibuan tipikal gadis Purbahayu. Wagini lebih ramping dari Siti, ia lebih suka berbincang dengan saya pakai Bahasa Indonesia dari pada Bahasa Sunda karena Sunda-nya yang kadang jeblok. Dia memang suku Jawa yang tinggal di Pondok Lombok. Begitu kalemnya pasangan ini sehingga merupakan suatu hal yang luar biasa jika kita para siswa dapat berbincang dan bersenda gurau dengan pasangan ini. Saat ini terhadap keduanya, gelap, tidak tahu dimana keberadaannya.

Surtikah dan Surtiasih adalah pasangan berikutnya. Kalemnya pasangan ini dibawah satu tangga dari pasangan pertama di atas. Branding pasangan ini adalah; Dimana ada Surtikah di situ ada Surtiasih. Memanggil satunya berarti menoleh keduanya. Coba saja panggil: “Sur!”, maka pasti akan menoleh keduanya. Surtikah dan Surtiasih ini paling berani mengkritik saya. Katanya, mengapa kalau shalat berjamaah di mushola pada saat ruku atau sujud mata saya kadang suka melirik mereka berdua yang bermakmum di belakang. Itu katanya tidak bagus dan tidak khusu! Saya baru terpikir sekarang, bukankah mereka juga melihat saya ketika saya melirik mereka di sela-sela ruku atau sujud. Apakah itu tidak mengurangi ke-khusu-an shalat mereka? Ha ha hah. Wallahualam, kekhusuan hanya Tuhan saja yang tahu.

Surtikah dan Surtiasih sebenarnya tinggalnya satu desa dengan saya di Desa Cikembulan. Tapi tempat tinggal mereka cukup jauh dari kampung saya. Mereka tinggal di Tarikolot, kampung yang kemudian memisahkan diri dan bergabung dengan kampung lainnya membentuk Desa Pajaten. Sampai tamat SMA mereka berdua tetap mengayuh sepeda sekira jarak 3 kilometer untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke sekolah dengan bis. Saya baru tahu tahun 2008 kemarin jika Surtikah bersuamikan Kang Budi, puteranya Bapak Ubad Badarudin yang menjadi ‘Kepala Sekolah’ SMA kami.

Sedangkan dengan Surtiasih sekali waktu saya pernah jumpa dia dalam kendaraan umum di Pangandaran. Ketika itu saya sudah lebih dahulu duduk di dalam angkutan umum dan di perjalanan naiklah Surtiasih. Saya biarkan sejenak tak lama kemudian saya tepuk pundaknnya. Dengan refleks tanpa menoleh dia mengambil dompetnya dan mengambil uang, mungkin dikiranya tepukan saya tepukan kondektur. Kubiarkan dia. Begitu menyodorkan uang dan menatap ‘sang kondektur’, mukanya seketika terkesiap dan sejurus kemudian terlihat seolah hendak merengkuh. Saya baru kali itu melihat mimik dia seekspresif itu. Ekspresi kerinduan seorang kawan. Kejadian itu telah lewat lebih kurang sepuluh tahun lalu. Terakhir saya dapat khabar Surtiasih masih berdinas di Puskesmas Pembantu di Cikangkung Desa Cikembulan.

Wiwin Wintarsih dengan Sulasmini. Dari sisi perawakan Wiwin termasuk campernik dengan rambut ikal sedang. Meski kecil dia kalau bicara cukup lantang, agak cepat dan kadang sulit dipotong sampai dia berhenti sendirinya. Dalam amatan saya di kelas dia bisa cepat berubah dari kalem ke centil atau sebaliknya. Suatu kali bersama Jasa, saya sempat mengunjungi rumahnya di Ciganjeng. Ternyata sambutan dia sangat baik sekali. Seluruh makanan yang dia punya dikeluarkan dan disuguhkannya. Padahal di sekolah rasanya tak sekalipun saya pernah ditraktir olehnya. Ketika berpamit, ibunya bahkan ingin membekali kami kelapa muda. Saya tolak dengan terima kasih, anggukan dan senyuman. Wiwin saat ini tinggal di Purwokerto. Kadang-kadang saya kontak sms atau telepon dengannya. Dia mengemail foto keluarganya pada saya. Dan dia mengaku tak ada perubahan berarti padanya, perawakannya masih seperti ketika berpisah dahulu katanya. Masa sih? Saya setuju memang dia tidak berubah dari kerenyahan berbicara. Tapi logat bicaranya, ya ampun medok Jawa pisan euy!

Sulasmini alias Miming. Nama ini sering disebut-sebut si Wawan dan Yono jika kami main bersama jauh di luar sekolah misalnya ketika hiking, maka kedua kawan itu sering bergumam; “…kalau ada Miming…”. Miming memang paling banyak dilamunkan oleh dua kawan itu, karena dua kawan itulah yang terbuka mengungkapkannya. Miming berambut lurus dan berkulit lebih putih jika dibandingkan dengan ukuran rata-rata gadis pantai Pangandaran. Dia memang gadis Banjasari, yang sama-sama kos dengan Wiwin dekat stasiun Pangandaran. Meski badannya lebih besar dari Wiwin tetapi dia terlihat kalem dan jika berjalan kadang sering menunduk. Bicara, senyum dan ketawanya di sekolah lembut dan tak pernah lepas/keras. Tetapi kelembutannya kontras dengan sepatunya yang maskulin/macho, dia selalu menggunakan sepatu warior yang biasa dipakai para siswa lelaki. Tak ada satu orang kawanpun yang sempat berjumpa atau kontak dengan Miming sejak kami berpisah. Entah dimana dia sekarang berada. Kalau ada Miming….

Sri Lasmawati dan Tri Laksmihindiah, ini merupakan pasangan terakhir dari kawan-kawan perempuan kami di kelas IPA5. Saya hampir selalu mengingat Sri jika mendengar lantunan lagu-lagu Grace Simon, sebab lagu-lagu itulah yang sering diperdengarkan pada kami. Sri adalah yang nomor satu dalam permainan gitar. Ya, karena hanya satu-satunya kawan perempuan yang bisa memetik guitar, sedangkan tujuh gadis lainnya boleh dikata sama sekali buta gitar. Sri adalah sosok yang paling welcome dengan kawan-kawan siswa pria di kelas. Di rumahnya di Kalapa Tiga - Babakan, Sri memiliki alat band (drum dan gitar elektrik) yang menjadi magnit bagi para pemuda untuk berkunjung dan berlatih di tempatnya. Sri mungkin kawan sekelas yang pertama menikah. Ketika suatu kali bertelepon ia mengabarkan bahwa anaknya yang sulung telah tamat kuliah dan sekarang sudah bekerja. Sri tinggal di Serpong Tanggerang.

Tri Laksmihindiah merupakan kawan perempuan terakhir di kelas IPA5. Dia bersama Sri Mulyani (Dede) adiknya Bu Rosmalia kalau tak salah adalah siswa pindahan dari luar kota yang bergabung dengan kami pada sekitar tengah semester pertama. Mereka berdua balik kampung mungkin karena tidak betah dan kangen dengan atsmosfir Pangandaran. Ada satu hal yang kadang mengingat saya terhadap Tri, yakni minyak kayu putih. Suatu kali di kesan pertama saya sempat berbincang dengan Tri begitu dekat sehingga saya dapat mencium semerbak tubuhnya. Entah apakah ketika itu dia lagi masuk angin atau sakit perut, yang jelas semilir lembut tercium wangi minyak kayu putih darinya. Wangi kayu putih itu kemudian terekam kuat dalam otak bawah sadarku, sejalan dengan pertama kalinya terekam di otak bahwa ternyata Tri itu dari dekat manis ya, hmh. Sampai sekarang jika saya bepergian hiking ke hutan selalu membawa minyak kayu putih. Minyak kayu putih itu setia mengawal perjalanan saya menembus pelosok kampung dan lebatnya rimba serta menjadi obat dikala kedinginan dan masuk angin, juga sebagai obat perindu jika teringat Tri. O ya, Tri sekarang tinggal dan bekerja di Kotif Cimahi.

Demikianlah seluruh siswa/i IPA5 tak mungkin dapat dengan mudah terhapus dari memory saya. Dengan/dari mereka karakter saya terbentuk. Tiga tahun belajar bersama dengan mereka terasa amat sangat singkat sekali dan rasanya hal itu baru saja berselang. Inilah Daftar Absen IPA5 yang tersimpan rapi di memory saya:

Agus Gustiwa
Ato Mubiakto
Data Sumara
Didik Seno Widiyanto
Dwi Gita Sudarisman
Ganip Gunawan
Jaja Sudiana
Jasa Priadi
Kuat Slamet
Magino
Mardi
Mitro Subroto
Nana Daryana
Otong Suparman
Sarji
Siti Sunarti
Sofarudin Latief
Sri Lasmawati
Sudarsono
Sulasmini
Sunarto
Suroso
Surtiasih
Surtikah
Suswara
Tatang Hidayat
Tri Laksmihindiah
Wagini
Wawan Setiawan
Wiwin Wintarsih
Yayat Ruhiyat
Yono Rubiono
Yusuf

(bersambung)

1 komentar:

  1. kayaknya aku kenal nama nama diatas, diantaranay teh Wiwin, jasa Priyadi, Suswara

    aku juga alumni SMA Pangandaran, yang jelas adik kelasnya mereka..
    aku orang Ciganjeng

    BalasHapus