Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (7): Sekolah Kami

SMA Negeri Pangandaran (filial Banjar) pada semester pertama terdiri dari dua kelas --baru pada semester kedua nanti setelah penjurusan kemudian dipecah menjadi empat kelas. Dua kelas itu menempati ruang SMP kelas III C dan III D, yang gedungnya terletak di bagian belakang kompleks sekolah.

Gedung ruang kelas itu relatif baru jika dibandingkan dengan gedung induknya yang terletak memanjang di bagian depan. Tetapi ruang-ruang kelas kami sepi ornamen. Tak ada gambar apapun di dalamnya, bahkan selembar kalender pun. Dinding dan atap langit-langit kelas bercat rapi, dengan sederet lampu neon di atas langit-langitnya. Meja-kursi masih cukup baik tetapi dengan kepadatan yang tinggi karena pada semester pertama itu selain belum dipecah/dijuruskan, juga masih dititipi/digabung dengan anak-anak SMA PGRI, dimana jumlah tiap kelas lebih dari 50 orang.

Sekira lima atau enam depa dari pintu kelas terletak gedung aula. Aula ini sungguh merupakan gedung serbaguna, tempat berbagai aktivitas akademik luar ruang kelas dan digunakan oleh seluruh warga belajar yang menggunakan gedung SMP N Pangandaran. Jika ada pengumuman atau pengarahan maka para siswa digiring ke aula. Tetapi untuk upacara kenaikan bendera di siang hari Senin yang terik selalu di gelar di lapangan basket yang terletak di halaman depan. Untung saja di tepi lapangan basket itu bertumbuhan pohon ketapang yang rindang, dengan terselip diantaranya satu batang pohon nyamplung dan kayu putih.

Sebelah barat dari ruang kelas kami terletak 'rumah dinas' penjaga sekolah SMP. Di depannya terhampar halaman yang cukup luas yang dibatasi oleh pagar hidup tanaman keji beling. Ada beberapa tanaman tumbuh dihalaman itu sekira dua sampai tiga batang kelapa gading, sebatang jeruk dan dua batang jambu batu yang buahnya selalu tidak pernah mencapai tua/matang. Tanah halaman itu padat keras karena seringnya dilalui anak-anak, kendati pagar pembatas taman telah dipasang.

Sebelah barat dari gedung aula, menyeberangi halaman di atas tadi, terletak ruang kelas III A dan III B serta dua ruang laboratorium. Ruang kelas III A dan III B serta laboratorium tersebut letaknya berbeda dari kelas-kelas yang lain, yakni membujur arah utara-selatan. Di belakangnya berdiri setia saung memanjang, tempat parkir sepeda. Di pojok selatan saung parkir ini ada penjual kupat tahu yang harga seporsinya Rp. 150,- namun pesan setengah porsipun biasanya dilayani. Sayangnya penjual kupat tahu ini hanya buka dari pagi sampai siang hari saja, hanya mengejar pangsa anak-anak SMP N yang sekolah di pagi hari.

Sebelah timur dari ruang kelas kami berdiri terletak kelas III D dan III E dengan dipisahkan oleh suatu lorong atau gang sekira sejarak 4 meter. Gang itu kemudian dibangun sebagai ruangan guru SMA sekaligus ruang tata-usaha. Bentuknya sangat sederhana sekali berupa sekat-sekat dinding tripleks, dengan hanya satu pintu saja di muka. Pada bagian mukanya dipasang sedikit kaca, serta berloket, mirip seperti tempat penjualan karcis di gedung bioskop Jaladri Theater.

Berjalan lagi sedikit ke timur terdapat sebuah mushola. Berdampingan dengan mushola terletak kamar-kamar kecil wc dan tempat untuk berwudhu. Pada batas tepi timur terdapat saung parkir sepeda yang memanjang. Di bagian ujung utaranya terdapat kantin. Tapi saya ragu-ragu menyebutnya kantin, karena kata 'kantin" tidak populer disebutkan diantara kami. Di situ terdapat dua orang penjual saja yang menggelar jajanan pakai meja. Serta satu orang penjual es yang dijaja dalam gerobak dorong.

Seputar komplek sekolah dikelilingi benteng tembok yang di sana-sini mulai berlumut. Benteng tembok itu itu memisahkan sekolah dengan perkebunan kelapa dan coklat. Pada benteng bagian belakang-timur, tepatnya di belakang ruang kelas III E terdapat sedikit bagian tembok yang sudah pecah dan bercelah cukup besar sehingga kita dapat menjangkaunya melihat keluar benteng dengan leluasa. Tentu saja perkebunan itu sepi, tak ada orang di luar sana kecuali sewaktu-waktu saja satu atau dua orang penyabit rumput. Perkebunan di luar sekolah yang rimbun dan sepi ditambah dengan celah tembok tadi, menjadi tempat yang 'ideal' sebagai jalur rahasia bagi sebagian anak-anak untuk mabal alias bolos/mabur dari jam pelajaran.

O ya, jika di sore hari udara mendung karena akan turun hujan. Maka itu adalah pertanda 'berkah' sekaligus 'musibah'. Berkahnya adalah karena kelas bisa bubaran lebih cepat karena ruang kelas menjadi gelap --tidak ada penerangan listrik, memang ada mesin diesel tetapi itu otoritas dan proverty-nya SMP yang hanya sewaktu-waktu saja dihidupkan. Sedangkan musibahnya, tentu saja kami pulang kehujanan. Karena sebagian besar dari kami tak pernah hirau dari peribahasa yang diajarkan di SD dan SMP; 'Sedia payung sebelum hujan.

Saya coba merekonstruksi kembali keaadan lingkungan sekolah kami pada 25 tahun yang lalu serta perubahan 25 tahun kemudian. Peta ini diambil dari citra satelit QuickBird yang diperoleh dari Google Earth. Untuk memperbesarnya silakan di-double click.





Lansekap sekolah kami hampir sempurna dikelilingi perkebunan kelapa dan coklat yang rimbun, kecuali di sisi utaranya yang menghampar lapangan sepak bola Lapangan Samudera. Perkebunan kelapa dan coklat ini sebenarnya bagi sebagian besar dari kami (khusunya siswa pria) adalah juga merupakan kelas tersendiri atau lebih tepat disebut sebagai 'kelas terbuka'. Karena di 'kelas terbuka' inilah kami saling belajar dan tukar pengalaman kehidupan remaja.

Di 'kelas terbuka' ini pula banyak siswa belajar pertama kalinya merokok. Para 'guru' yang memperkenalkan merokok antara lain si One; Wawan Setiawan, Ato Mubiakto, Apo, Enceng, Iyus, Sukmana, Asep, dan si Gordon; Sudarsono. Tidak semuanya 'lulus'. Contohnya si Yusuf dia tak pernah dapat menikmatinya sampai dengan tamat sekolah, walau pun kelihatan dia bersungguh-sungguh melakukannya dan bersusah payah berbatuk-batuk.

Banyak kehidupan remaja lainnya yang saling ditukar pengalaman saat itu. Termasuk di situ mendengarkan ceritanya si Ujang jangkung tea dari IPS tentang pengalaman berpacarannya dengan orang yang lebih dewasa di kampungnya. Cerita dan pamer tentang produk-produk barang baru, cerita hiking, cerita bola, tounamen voli, merancang strategi untuk PDKT dan cerita-cerita lainnya lengkap dengan cerita jorok dan horornya, iy...!

Sedangkan Macok, alias maok coklat, itu boleh dikata bukan lagi sebagai 'pelajaran' dari 'kelas terbuka' itu. Karena para siswa umumnya sudah secara naluriah dengan tingkat kemahiran yang tinggi melakukannya di sela-sela istirahat atau pulang sekolah. Buah coklat yang segar tak dapat dipandang enteng, dia menjadi extra supplemen bagi badan remaja yang tumbuh dan selalu lapar dan kehausan. Lebih-lebih lagi mereka yang 'cekak'. Kebun coklat juga pernah menjadi arena pertarungan yang sengit antara kami dengan anak-anak SMA Muhamadiyah.

Sekiranya kami bosan di kebun coklat, lalu beranjak sedikit ke timur menuju pasar atau terminal sekedar menghirup dan mengamati kehidupan orang-orang dewasa. Para siswa luar daerah Pangandaran, yakni para orang 'gunung' karena jauh dari pantai, kadang-kandang rute mabalnya adalah ke pantai Pananjung.

Demikianlah pendek kata, lansekap sekolah yang menjadi 'kelas terbuka' itu bagi sebagian kami adalah tempat untuk beraktualisasi dan menemukan identitas diri masa remaja kami.***(bersambung)

klik untuk memperbesar gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar