Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (6): Orientasi Sekolah/Ospek


Senin 5 Juli 1982. Udara di Pangandaran sangat cerah. Ini adalah hari yang ditunggu-tungu oleh seluruh siswa/i baru karena hari ini adalah hari pertama bersekolah di SMP eh maaf di SMA Negeri Pangandaran. Penantian tibanya hari ini terasa begitu panjang sejak pengumuman kelulusan test/seleksi masuk tempo hari. Tetapi di hari yang dinantikan ini kami tidak juga dapat segera masuk gedung sekolah sebab harus menunggu lebih dahulu bubaran sekolah si ‘tuan rumah’ anak-anak SMP N Pangandaran.

Di hari pertama itu kami berangkat sekolah bersepeda berombongan dengan Abay, Rosadi, Nana, Sukmana, Yusuf dan beberapa lagi yang tidak saya ingat. Pada tengah semester pertama rombongan sepeda itu tinggal berdua saja dari Cikembulan, saya dan Abay, karena kawan-kawan tadi yang berasal dari Pajaten dan sekitarnya baru terasa setiap tiba di rumah selalu menjelang atau lepas maghrib. Mereka, termasuk Surtikah dan Surtiasih, sebenarnya tetap bersepeda sampai tamat kelas 3 tetapi hanya sampai Cikembulan saja, karena selepas itu dilanjutkan dengan bis. Tak lama berselang saya dan Abay pun menggunakan bis. Tetapi sialnya hanya gara-gara pakai celana panjang kondektur bis mengutip Rp. 50,- sekali jalan sedangkan yang masih bercelana pendek masih Rp. 25,- (tarif lama SMP).

Ada dua rombongan besar yang 'menggilir' gedung SMP N Pangandaran selepas siang. Pertama, dan lebih dahulu setahun yakni anak-anak SMP PGRI, dan kedua tentu saja kami para siswa baru SMA N Pangandaran. Para siswa/i baru di hari petama itu terlihat datar-datar saja (karena belum saling kenal tentunya). Yang kelihatan berbeda yakni tampilan kawan-kawan perempuan, yang kami kenal sewaktu sama-sama SMP. Mereka ini segera setelah mengenakan seragam abu-putih rasanya terlihat lebih dewasa, dan ehm, bening, seperti Iin Hindasah misalnya. Saya tahu persis dia waktu masih 'bujil', karena dari SD, SMP sampai SMA bersama terus satu sekolah dengan saya.

Para siswa/i baru SMA dikumpulkan di aula untuk pembagian kelas. Waktu itu hanya ada tiga kelas saja dengan jumlah per kelas lebih kurang 50 siswa, kecuali kelas yang ketiga sekitar 25 orangan. Kami baru tahu kelas pertama dan kedua adalah siswa/i baru SMA Negeri, sedangkan kelas yang ketiga adalah kelas SMA PGRI. Ketiga kelas itu sama sekali tak ada perbedaan perlakuan, kecuali dalam berbaris dan ruang kelas tentunya. Selanjutnya kami diberi pengarahan ini-itu untuk persiapan Orientasi Sekolah (Ospek) yang akan diselenggarakan pada keesokan harinya. Sesudahnya kami secara bergiliran diukur badan oleh para penjahit yang didatangkan ke sekolah, untuk dijahitkan seragam sekolah resmi yang diurus/dikordinasi oleh sekolah.

Seperti berangkatnya, pulangnya di hari pertama itu rasanya kami juga biasa-biasa alias datar-datar saja. Tak ada sesuatu yang berarti yang membuat hiruk pikuk sebagai layaknya persiapan untuk mengikuti Ospek. E tanya kenapa?

Ospek bagi hampir kebanyakan sekolah adalah sesuatu kenangan yang melegenda, tetapi bagi kami angkatan pertama tidaklah demikian. Jawabannya sederhana saja, yakni; karena kami tidak memiliki kakak kelas yang 'mengospek'.

Hari-hari Ospek selama lima hari berikutnya dijalani secara formal dengan mengikuti penataran P4 --ini perlu saya jabarkan untuk para alumnus angkatan muda (karena sekarang sudah tidak ada lagi); P4 itu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Jangan salah seluruhnya ada 45 butir dan jangan dipelesetkan, karena resiko salah ketika zaman itu bisa subversif! Selebihnya kemudian adalah pengenalan studi yang diisi lebih banyak dengan peneguhan dan peningkatan kepercayaan diri kami sebagai siswa pertama dan sekolah pertama yang didirikan dengan fasilitas seadanya. Lalu diselang-selingi dengan sedikit nyanyi-nyanyi dan permainan-permainan canggung.

Sejak hari pertama sampai selesainya Ospek itu kami sama sekali tidak melihat sosok Kepala Sekolah SMA N Pangandaran. Bahkan boleh ditanya kepada seluruh kawan-kawan seangkatan (angkatan pertama) bahwa sampai kami lepas/tamat SMA, sama sekali kami asing dengan nama dan kepala sekolah. Bahkan hanya untuk sekedar mengingat namanya saja, jujur saja saya harus membuka kembali buku raport SMA. Dimanakah gerangan beliau? Beliau ada di Banjar. Kepala sekolah kami adalah Kepala Sekolah SMA Negeri Banjar, karena kelas angkatan kami adalah kelas jauh SMA N Banjar (filial). Selain dari mengepalai SMA N Banjar, kepala sekolah kami juga mengepalai beberapa sekolah lainnya, termasuk diantara SMA Muhamadiyah Pangandaran.

Sosok kepala sekolah bagi kami angkatan pertama melekat pada sosok Bapak Ubad Badarudin dan Bapak Suwarno. Mereka "Tiga Serangkai" dengan Bapak Iso Jayawinata, seperti saya sampaikan sebelumnya adalah para pejuang pendiri SMA N Pangandaran. Memang ada wakil kepala sekolahnya, yakni Bapak Wiswo yang di-BKO-kan dari SMA N Parigi.

Kami menyaksikan bagaimana gerak dan perjuangan "Tiga Serangkai" itu. Saya sungguh amat terharu sekali ketika mendengar kembali kisah perjuangan mereka yang dituturkan oleh Bapak Suwarno, ketika saya menjenguknya pada pertengahan tahun 2008 ini. Klimaks perjuangan itu ada dua yakni pada saat lahirnya SK SMA N Pangandaran pada tahun 1982, dan ketika wafatnya Bapak Ubad Badarudin sebagai sahid (...amin!) yang dipanggil oleh Allah SWT persis ketika pulang dari Bandung untuk urusan pembangunan dan kemajuan SMA N Pangadaran. Dengan mendiang itu, saya secara pribadi memiliki hubungan emosional khusus, yang akan saya kisahkan nanti.

Saya mengamati, bahwa masa orientasi (atau konsolidasi) ketika itu barangkali lebih cocok ditujukan kepada para gurunya, dimana guru SMA saat itu sangat terbatas. Guru-guru SMA kami yang khusus dan ditugaskan secara resmi sebagai guru SMA N Pangandaran, yang berdiri dan diperkenalkan di lapangan basket, dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Sedangkan sebagian besarnya adalah guru-guru yang di-BKO-kan (diperbantukan) dari SMP N Pangandaran dan SMA N Parigi.

Di depan Bapak Ubad mengumumkan; "Anak-anak, perkenalkan guru-guru yang akan mengajar kalian ..... Bapak Abas Suryadinata (guru Bahasa Indonesia, 4 minggu mengajar); Bapak IIng Abdurahman (guru Agama, 3 bulan mengajar); Bapak Yohandi (guru Kimia, 1 tahun mengajar), Ibu Titi (guru Biologi, 1 tahun mengajar); saya sendiri Ubad Badarudin (guru PMP); Bapak Suwarno (guru Bahasa Inggris, 3 tahun mengajar) ..." Itu mereka semua, bagi saya tak usah diperkenalkanpun sudah tahu betul, karena beliau-beliau adalah guru-guru SMP saya.

Berikutnya yang asing bagi saya Bapak Kusmana (guru IPS), Bapak Nana Darna (guru IPS dan keterampilan); Bapak Jumsa (guru olahraga). Sebentar jeda dulu --dua guru terakhir ini masih 'imut-imut' dan lajang. Berikutnya, Bapak Oto (guru Matematika, 1 tahun); Bapak (maaf lupa tetapi berciri khas seperti 'kiai balap', guru Agama menggantikan Pak Iing, 1 tahun); Bapak Ojo (guru BP), dan satu orang guru fisika dari Banjar. Sedangkan guru-guru baru lainnya menyusul berdatangan.

Itulah masa Ospek angkatan kami. Nyatanya sedatar atau sebiasa-biasa saja pun, saya masih dapat mengingatnya sebagai sebuah kenangan tersendiri. Seminggu masa orientasi sekolah ketika itu terasa lama karena cukup membosankan. Tetapi kemudian, di enam semester berikutnya kami belajar terasa sangat singkat, namun panjang untuk dikisahkan, yang penggalannya akan saya tuturkan pada lanjutan kisah ini.***(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar