Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (5): Pengumuman Hasil Test Seleksi

Tetangga saya sebelah rumah, Ajat Sudrajat, adalah kawan akrab sepermainan di kampung. Dia berbeda angkatan, satu tahun di atas saya. Selepas tamat SMP dia dijemput kakak seibunya (satu ibu) untuk sekolah kejuruan gizi di Jakarta. Pada musim liburan ini dia pulang kampung untuk yang pertama kalinya.

Ajat memiliki celana panjang yang bagus yang didapat dari kakaknya di Jakarta. Sebagai kawan akrab tentu saya tidak susah untuk meminjam celana panjang darinya. Juga sepeda pancal lelaki miliknya yang baru di-service, sekalian saya pinjam.

Berbeda dengan sepeda perempuan, sepeda lelaki memiliki batang besi yang lurus menghubungkan sadel dengan stang, disebutnya ‘bebedilan’. Sepeda lelaki ini lebih gagah jika dimodifikasi atau divariasi. Stang diluruskan, spakbor belakang dipendekan, rem tangan belakang diubah menjadi rem kaki, serta stiker warna mencolok yang ditempel pada beberapa bagian badan sepeda. Semua sentuhan itu sudah cukup untuk menunjukan identitas bahwa pemiliknya adalah macho dan modis. Seperti itu pula sepeda pancal lelaki milik Ajat yang baru di-service.

Celana panjang dan sepeda Ajat tersebut saya pinjam agar penampilan saya juga terlihat lebih dewasa dan macho. Sahabat Ajat ternyata lebih baik dari yang saya harapkan dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar saya melihat hasil pengumuman kelulusan ujian masuk sekolah SMA N Pangandaran.

Berangkatlah kami berdua saja. Saya duduk di bebedilan, dia mengayuhnya. Posisinya tepat di belakang punggung saya, sehingga napasnya menghambur ke tengkuk saya. Meskipun terlihat cukup berat mengayuh sepeda, tetapi dia riang gembira. Katanya dia rindu sekali dengan sepeda karena sewaktu di Jakarta selama setahun sama sekali tak menyentuh sepeda. Pantas saja dia terlihat kepayahan mengayuh sepeda, beda dengan setahun sebelumnya.

Kami berangkat berdua dan tidak lagi bersama dengan kawan-kawan waktu sependaftaran, maksudnya tiada lain agar terhindar dari ejekan mereka karena saya memakai celana panjang. Lucunya saya bertemu di sekolahan dengan mereka, ternyata mereka juga pada mengenakan celana panjang dan berangkatnya sendiri-sendiri pula.

Aula sekolah itu sudah penuh dengan orang-orang sebaya yang akan menunggu hasil pengumuman kelulusan ujian masuk sekolah. Tak dapat disembunyikan, terlihat wajah cemas dan optimis berbaur. Sebelum acara dimulai panitia membagikan kertas stensilan terdiri beberapa lembar. Tapi itu bukan berisi daftar siswa yang lulus, melainkan memuat laporan penyelenggaraan ujian seleksi masuk, serta pengumuman-pengumuman yang ditujukan bagi mereka yang lolos seleksi. Setelah diyakinkan bahwa setiap peserta seleksi mendapatkan stensilan tersebut, panitia kemudian memberi tanda untuk memulai acara.

Pak Ubad mengambil alih acara sepenuhnya. Dengan menggunakan pengeras suara tangan (hand speaker) yang masih baru, Pak Ubad memulainya dengan ritual pembuka selamat datang pada anak-anak. Kemudian memandu intepretasi lembar per lembar dari stensilan yang telah dibagikan. Dikatakannya jumlah peserta seleksi ada sekitar 200-an, sedangkan daya tampung yang tersedia hanya untuk 2 kelas saja. Nilai skor terendah siswa yang diterima adalah 320 sedangkan capaian nilai skor tertinggi 465, dari rentang nilai sempurna 600.

Dengan senyum yang tak lepas beliau menyambungnya bahwa setiap peserta seleksi akan mendapatkan hasil kelulusan masing-masing dalam amplop tertutup. Setelah masing-masing mendapatkan amplop, dipersilahkan saja pulang. Tetapi jangan lupa baca dan ikuti petunjuk lebih lanjut pada pengumuman yang dibagikan. Ditutupnya pengumuman pelulusan itu dengan ungkapan penyejuk; bagi yang tidak lolos seleksi jangan berkecil hati katanya. Selanjutnya Pak Ubad menyerahkan kembali acara kepada panitia dan mengisyaratkan agar pembagian amplop kelulusan segera dimulai. Beliau sendiri berdiri santai saja mengawasi pembagian amplop.

Itulah inti pengumuman kelulusan tersebut. Sangat simple tetapi fokus. Lalu dipanggilah setiap para calon siswa untuk mendapatkan amplop itu. Sebagian ada yang dibuka di tempat, sebagiannya lagi ada yang dibawa pulang saja. Segera setelah itu suara mulai riuh, ada yang melonjak kegirangan, ada yang senyum simpul dikulum dengan mata lekat menatap isi amplop, ada juga yang datar-datar saja tanpa ekspresi.

Selesai tiba giliran saya dipanggil dan mendapat amplop. Tiba-tiba saja pundak saya ada yang menepuk lembut. Oh ternyata Pak Ubad! Beliau tersenyum manis pada saya seraya berkata: “ Maneh Ganip ti SMP Pangandaran pan?” “Iya, Pak” jawab saya singkat. Sebelum saya tersadar, beliau melanjutkan tepukannya seraya meneruskan; "Alus ..!". Saya terkejut, tidak mengerti, gugup dan malu. Beliau kelihatan memahami respon saya, dan kemudian mempersilahkan saya pulang. Saya yakin beliau lekat menatap punggung saya sambil tersenyum-senyum ketika saya permisi dan berbalik mau pulang.

Segera saya tahu mengapa Pak Ubad menepuk saya. Saya terkesima dan tak percaya membuka amplop dan melihat isinya; nilai saya: 465, yang paling tinggi!

Saya tak dapat mengungkapkan seperti apa perasaaan dan ekspresi saya ketika itu. Rasanya ingin menlonjak bergirang seperti yang lain. Karena bagi saya itu adalah prestasi akademis pertama yang saya raih. Namun seketika itu juga saya dapat menguasai diri dan memendam kegirangan itu sekuatnya karena melihat dua sahabat sekampung sependaftaran, yakni Emuh Mukhsin dan Didi Supriyadi kelihatan lemas tanpa ekspresi.

Saya raih dan baca amplop keduanya, di situ sama sekali tidak ada kata “tidak lulus/tidak diterima”, yang ada dan jelas tertera “disalurkan ke SMA Muhamadiyah”. Sungguh pengumuman yang “bijak”, gaya tipikal euphimism kebudayaan orang timur.

Pulang dari acara pengumuman kelulusan tersebut giliran saya yang mengayuh sepeda, sementara Ajat bergilir duduk di bebedilan. Saya sama sekali tak merasakan sedikitpun beratnya kayuhan sepeda. Bagi saya ketika itu sepeda terasa sangat ringan sekali seperti terbang melayang.

Ibu menyambut saya di rumah dengan gembira. Dihidangkannya sebungkus mie kuah instant. Ibu jarang sekali masak mie instant. Dan kali ini menghidangkannya semua satu mangkuk buat saya sendiri. Tentu ini tidak biasa, karena biasanya satu bungkus mie kuah instant selalu dibagi-bagi dengan saudara saya yang lain dengan ditambahkan nasi. Kali ini mungkin hadiah khusus prestasi kelulusan saya sehingga boleh menyantapnya sendirian tanpa dicampur nasi. Belum kering berkeringat karena ditambah kuah yang pedas, ibu segera membawa saya ke Mang Saep, seorang penjahit pakaian di belakang pasar. Saya diukurnya untuk dijahitkan sepasang seragam SMA putih-abu dan satu pasang lagi seragam pramuka. Itu adalah celana panjang pertama yang dijahitkan untuk saya. Wow kereen ..! (bersambung) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar