Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (3): Pendaftaran Sebuah Tournament

Dalam hati saya ketawa kecil membaca papan petunjuk pedaftaran yang tertempel di ‘pintu gerbang sekolah’ SMA N Pangandaran. Karena sekolah itu tiada lain adalah sekolah SMP dimana baru saja saya menamatkannya. Kalau saja ada lomba tutup mata untuk sampai ke meja pendaftaran, maka saya berani berlomba karena tiga tahun saya belajar di situ cukup hafal untuk mengingat detail gedung sekolah itu.

Kendati demikian ketika masuk ke dalam kompleks gedung sekolah saya cukup tekejut juga melihat banyak orang sebaya yang asing. Ada juga beberapa orang tua yang mendampingi putera-puterinya. Mereka orang-orang sebaya yang asing tadi kebanyakan mengenakan pakaian bebas, beberapa diantaranya sudah ada yang mengenakan celana panjang. Balaga, kata kawan-kawan saya sekampung. Sudah pasti mereka itu para pendaftar dari kuar daerah, tapi yang jelas bukan dari Pangandaran. Karena semua pendaftar dari Pangandaran saya kenal dan secara otomatis bergabung dan bergerombol kecil-kecil.

Pendaftaran siswa baru SMA N Pangandaran itu diselenggarakan di gedung aula sekolah yang terletak tepat di jantung kompleks sekolahan. Sebagaimana gedung aula umumnya, itu adalah gedung serbaguna aktivitas para siswa dan juga kadan-kadang digunakan oleh umum. Di pojok barat berdiri kokoh panggung yang menurut saya ketinggian untuk ukuran siswa-siswi SMP. Pada bagian samping sisi selatan dibangun warung koperasi yang dikelola oleh Ibu Empat. Sedangkan di hamparan lantainya yang luas tergambar tegas garis lapangan badminton lengkap dengan dua tiang besi yang kokoh untuk memasang jaringnya.

Di sudut barat garis pojok lapangan badminton itulah tiga buah meja digelar. Di belakangnya duduk para panitia penerimaan pendaftaran siswa baru. Para calon siswa bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil di lapangan badminton itu. Kemudian satu-persatu dan dengan tidak terlalu beraturan mendekati meja untuk mendaftar ke panitia.

Kami berkawanan kecil belum beranjak untuk ikut mendaftar melainkan mengamati lebih dahulu dari belakang ruang kelas II E yang terletak lebih tinggi dari lantai gedung aula. Saya menahan kawan-kawan untuk bersabar mendaftar karena tiba-tiba ada perasaan aneh yang muncul di dada, yaitu perasaan semacam panggilan untuk berkompetisi. Pada sisi lain kami juga perlu menegarkan diri lebih dahulu karena merasa sedikit malu dan merasa kampungan/norak dengan masih mengenakan seragam SMP.

Pengenaan istilah 'kampungan' mungkin kurang cocok bagi kami sendiri yang orang kampung. Untuk menyatakan kenorakan itu biasanya kami di kampung mengungkapnya 'dasar orang gunung'! Kawan-kawan SMP saya yang dari gunung, seperti dari Pager Gunung, Kersa Ratu dan Panglanjan, entah menggunakan istilah apa untuk menyatakan kenorakan!

Sementara itu terlihat lima-enam orang bapak-bapak mengenakan pakaian olah raga dan menenteng raket kecele datang ke lapangan badminton di aula itu, karena lapangan dipakai untuk pendaftaran siswa baru. Bapak-bapak tersebut tidak segera beranjak pergi melainkan berbaur menyingkap gerombolan para siswa menuju warung koperasi yang biasa menyediakan kok. Kelihatannya berbincang dengan Pak Bingan untuk mengetahui kapan/jam berapa lapangan badminton bisa digunakan.

Gerombolan siswa mulai bertambah padat karena berdatangan yang baru. Suaranya terdengar mulai sedikit riuh dan bergaung dipantulkan atap seng gedung aula. Map-map mulai menumpuk di meja panita, satu tumpukan berwana biru untuk para pendaftar pria dan warna merah untuk para pendaftar perempuan.

Kepala sekolah SMP N Pangandaran Bapak Iso Jayawinata bersama dua orang guru senior, yakni: Bapak Suwarno dan Bapak Ubad Badarudin berdiri dan kelihatan tersenyum-senyum puas menyaksikan proses pendaftaran itu ---belakangan saya mengetahui bahwa tiga serangkai itulah para pahlawan pendiri SMA N Pangandaran. Pantas saja tersenyum-senyum.

Dari atas saya melihat semua kejadian hiruk-pikuk dan lalu-lalang proses pendaftaran sekolah baru itu lebih mirip seperti pendaftaran sebuah tournament badminton, daripada pendaftaran siswa baru suatu sekolahan.

Kami sekawanan kecil turun ke bawah untuk ikut mendaftar. Ternyata dari dekat baru tahu tidak semua proses pendaftaran itu berjalan mulus. Ada banyak calon pendaftar yang tidak lengkap memenuhi persyaratan, termasuk salah satu kawan saya Emuh Mukhsin.

Anehnya kelihatan tak ada satupun yang mengeluh atas kekurangan-kekurangan persayaratan itu. Mereka malah kelihatan sigap dan berbangga mengepit map serta hilir-mudik ke pasar untuk foto copy sesuatu atau memperbaharui pas foto. Sejujurnya, saya sendiri memang bangga waktu hilir mudik mengepit map serta mondar-mandir di tempat publik. Ajaib memang sebuah map yang dikepit, hilir mudik ke tempat foto copy serta dibuatkan pas foto, tiba-tiba saja mengangkat ego merasa menjadi orang sibuk dan penting seketika itu.

Perasaan saya untuk berkompetisi kembali menjalar ketika berbaur dalam kelompok orang sebaya yang asing. Sebuah perasaaan aneh yang tiba-tiba begitu saja muncul, perasaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Perasaan itu terkukuhkan oleh panitia ketika memberitahukan bahwa penerimaan siswa baru dilakukan melalui proses test/ujian masuk. Sekali lagi saya menyapu pandang pada orang-orang sebaya yang asing dan bergumam dalam hati bahwa saya sebagai orang lokal tidak mau kalah dari mereka yang dari luar daerah.

Suatu saat mungkin akan saya ceritakan ketika saya sampai pada suatu kesadaran bahwa sesungguhnya saya sama sekali bukanlah penganut atau tipe orang yang suka berkompetisi melainkan saya lebih pro pada yang sesuatu yang bersifat 'lokal'. Itu saya rasakan kelak di kemudian hari.

Kami cepat-cepat saja menyelesaikan proses pendaftaran sekolah itu, karena tak ingin menjadi lirikan orang lain sebaya yang sepertinya kelihatan mengejek; lho kok masih pakai seragam SMP. Selesai pendaftaran sekolah segera saja kami pulang melewati jalan yang sama, Jalan Siliwangi. (bersambung).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar