Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (2): Jalan Siliwangi


Kendati sudah tamat dan sekolahan SMP dalam suasana libur selepas kenaikan kelas 1 dan 2, saya tetap mengenakan seragam SMP ketika berangkat untuk mendaftar ke SMA N Pangandaran. Berkemeja putih dan celana pendek biru dengan berbalut sepatu warior hitam yang mulai kekecilan. Ini berbeda dengan seragam SMP Muhamadiyah yang berseragam bawah warna hijau, Tsanawiyah yang berseragam bawah warna coklat dan berbeda pula dengan seragam SPMP (Sekolah Menengah Pertanian Pertama) yang berwarna abu. Dulu di Pangandaran ada SPMP, entah sekarang.

Berempat dengan kawan sepermainan sehari-hari di kampung; Abay Bayanullah (se-SD dan se-SMP), Emuh Mukhsin dan Didi Supriyadi (se-SD, tapi beda SMP keduanya di Muhamadiyah), pagi itu berangkat untuk pendaftaran ke SMA N Pangandaran. Sedangkan Ujang Rusmana kawan sepermainan lainnya tak dapat ikut mendaftar ke SMA karena alasan ekonomi. Yang demikian ini saya pikir cukup banyak ketika itu. Seingat saya tidak mencapai setengah dari kawan-kawan sepermainan waktu di SD di Cikembulan I dapat melanjutkan ke SMP (Tahun 1978).

Kami menyusuri jalan Siliwangi, jalan kampung yang menghubungkan Cikembulan-Pangandaran. Jalan Siliwangi ini begitu akrab dengan kami, karena tiap hari kami menyusurinya pergi-pulang sekolah menghindari jalan raya dari resiko kesenggol kendaraan roda empat serta menghindar dari sengatan matahari siang.

Jalan Siliwangi pagi itu cukup lenggang, amat berbeda dengan hari-hari biasa sekolah. Pada masa itu Jalan Siliwangi di hari-hari sekolah sangat padat. Saya taksir lebih dari 95% anak-anak berangkat ke sekolah menggunakan sepeda pancal dan melewati jalan Siliwangi. Selebihnya sekitar 5% berangkat ke sekolah dengan menggunakan berbagai moda seperti naik delman atau colt dengan tarif Rp. 25.-. Ada pula yang diantar ikut membonceng orang tuanya yang berangkat bekerja. Sedangkan yang dekat dari sekolah pada radius 1 sampai 2 km umumnya berjalan kaki saja. Beruntung saya tidak terlalu jauh berkayuh sepeda, kawan-kawan se-SMP ada yang harus berkayuh sekitar 20 kilometer jarak pergi-pulang dari sekolah ke rumah. Seperti dari Kersaratu, Cikalong Gunung dan dari Sucen.

Saya tak hendak beranjak cepat-cepat berkisah dari mengenang tentang Jalan Siliwangi ini. Karena jalan ini begitu mengesankan bagi saya. Di situ ada kisah kesetiaan, kecemasan, pertarungan, dan selebihnya kegembiraan.

Jalan Siliwangi ini jangan dibayangkan sebagai sebuah jalan seperti di kota-kota, yang berplang (penunjuk nama jalan). Ia hanyalah sebuah jalan tanah selebar tiga sampai empat meteran saja. Ia memberikan keteduhan bagi setiap pelintasnya karena dinaungi oleh pohon-pohon di sepanjangnya. Tak ada yang tahu siapa yang memberi nama jalan ini dan mengapa namanya Siliwangi. Sejauh yang saya tahu di kampung-kampung pesisir selatan ini tak ada jalan-jalan yang memiliki nama seperti Jalan Siliwangi ini. Yang ada adalah jalan ke Pondok Lombok, jalan ke Sidamulih, jalan ke Japuh, jalan ke Ciokong dan seterusnya.

Jalan Siliwangi ketika itu masih cukup lenggang. Di sepanjangnya selang-seling kebun pekarangan dan rumah-rumah penduduk suku Jawa yang khas. Rumah-rumah Jawa itu berbentuk joglo, berpintu di tengah, simetris diapit dua atau tiga jendla di kiri-kanannya. Jendela bercat warna kontras, umumnya kobinasi dari warna hijau, biru, merah dan kuning. Rumah-rumah Jawa umumnya berlantai tanah. Dan pada bagian atap berhiasan seng dibentuk ornamen seperti siger. Hampir dapat dipastikan jika kita masuk ke dalamnya selalu ada gambar tokoh pewayangan, ada semar, petruk, bagong, arjuna dan gatot kaca. Rumah Jawa yang lebih mentereng biasanya dilengkapi lapangan tembok yang terletak persis di depan pintu rumahnya sebagai tempat untuk menjemur padi.

Saya dapat memastikan, Karang Simpang adalah kampung terakhir sebagai batas akulturasi kebudayaan Jawa di tanah pasundan. Sedangkan kampung saya Cikembulan adalah boleh dikatakan orang Sunda semua, satu-dua-tiga memang ada orang Jawa. Seperti Mang Reso si penjual es gosrok, Mang Karto tukang gergaji kayu, Mang Mariko tukang baso yang dipikul, serta orang-orang tukang kamasan yang berasal dari Purwoketo. Bahasa sehari-hari kami di kampung adalah Sunda, tetapi jika hari Rabu dan Minggu bahasa Jawa ramai digunakan di pasar kampung kami. Orang-orang kampung kami menyebutnya bahasa Jawa reang.

Saya dapat mengukur kadar kesetiaan seorang kawan di Jalan Siliwangi ini. Itu terjadi manakala ban sepeda kempis, sedangkan rata-rata kami tak punya uang lebih sebagai cadangan darurat di perjalanan misalanya untuk tambal ban sepeda yang kempis. Seorang kawan setia akan turun dari sepedanya sama-sama pulang jalan kaki dengan menuntun sepedanya yang sehat, mendampingi kawan sebelahnya yang menuntun sepedanya yang kempis.

Kecemasan akan menghantui jika musim peneng telah tiba. Saya tidak menjumpai istilah peneng ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak juga di kamus Inggris. Yang ada adalah kata 'penning'. Seorang kawan bule di studio tempat saya berkarya sekarang, Resit Sozer, menjelaskan 'penning' ada dalam bahasa Belanda. Di kampung halamannya di Belanda ‘penning’ digunakan antara lain untuk pajak anjing, berbentuk kalung yang dikenakan pada leher anjing.

Cocok sudah dan saya puas dengan penjelasan Resit. Karena itu yang paling masuk akal; pasti kata peneng merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, diserap waktu kakek-moyangnya dia menjajah kakek moyang saya. Memang benar peneng itu arti dan maknanya sama, yakni pajak. Tapi peneng di sini adalah pajak untuk sepeda pancal berupa stiker yang ditempel di badan sepeda pancal. Anehnya pajak untuk sepeda motor dan mobil tak disebut sebagai peneng. Dan saya tak tertarik untuk lebih jauh mengetahui anomali ini.

Harga peneng sepeda tersebut seingat saya ketika masa SMP sekitar Rp. 100,- per tahun per sepeda. Sedangkan rata-rata uang saku kami ke sekolah ketika itu Rp. 50,-. Jadi bayar peneng berarti siap gigit jari menahan dahaga dan lapar dua hari di sekolah. Sedangkan para orang tua umumnya tak mempedulikan peneng sepeda anak-anaknya. Yang berkesan dari musim peneng di Jalan Siliwangi ini adalah seni untuk menghindarinya atau kabur balap sprint sepeda dengan petugas yang mengejar. Mereka para petugas kadang-kadang suka menjebak dan merazia peneng pada tempat-tempat dimana pengendara sepeda pancal sering lengah.

Ada tiga gerombolan besar pengendara sepeda pancal yang tiap harinya melalui Jalan Siliwangi ini. Gerombolan pertama adalah gerombolan dari Kersaratu, Sidamulih, Bantar Kalong, Pajaten dan Tarikolot. Gerombolon kedua adalah dari Cikalong Gunung, Sucen, Cikalong (sekarang Sukaresik), dan Ciokong. Dan gerombolan ketiga tentu saja ‘penguasa’ Jalan Siliwangi sendiri, yakni dari Cikembulan kampung saya sendiri.

Gerombolan sepeda dari Cikembulan menjadi ‘penguasa’ Jalan Siliwangi, ini lebih karena takdir saja karena posisi geografis yang menguntungkan. Dimana gerombolan sepeda pancal pertama dan kedua, mesti melewati kampung kami. Posisi geografis yang menguntungkan ini menjadi kami sedikit sombong di jalanan, karena merasa yang paling dekat dengan para balad dari kampung. Perasaan ini yang kemudian kadang-kadang mengundang ketegangan dan perseteruan dengan gerombolan lain. Kami suka sesumbar bahwa kami adalah ‘penguasa’ Jalan Siliwangi.

Kenyataannya memang demikian kami selalu menang dalam setiap perseteruan, karena jika kami kalah ketika di jalan, maka gampang sekali menggalang para balad di kampung (termasuk juga yang agak dewasa). Lalu meraka mencegat para seteru kami ketika mereka pulang sekolah; menantang, mengancam, dan mengintimidasinya. Ha ha tentu saja ini strategi jitu, lebih tepatnya licik.

Modus kesenangan yang sering mengundang ketegangan atau kadang perkelahian adalah satu atau dua orang dari geng kami menyalip gerombolan pengendara sepeda yang lain, yakni pada tempat-tempat dimana sepeda harus antri. Tempat-tempat seperti itu berupa jembatan kecil, berupa titian, dari selokan-selokan yang ada di sepanjang perjalanan. Satu atau dua orang kawan yang menyalip dengan cepat tiba-tiba saja berhenti persis di tengah titian. Maka tentu saja tabrakan beruntun terjadi di belakangnya. Mereka yang panik dan sial sepedanya akan berkubang di selokan karena menghindar tabrakan beruntun. Dengan modus itu maka gerombolan sepeda kami selalu mendapat jalan lebih dahulu dan tak perlu antri di titian. Itulah wujud dari 'penguasa' jalan yang dimaksud.

Demikianlah Jalan Siliwangi memberi kenangan bagi saya. Bahkan wanginya jalan itu masih terekam dalam benak saya. Selepas melewati stasiun kereta api Cikembulan ada sebuah kolam tempat pembuangan sampah di sebelah kiri jalan. Bau bacin selalu menyengat, mungkin di situ tempat pelemparan bangkai anjing atau kucing oleh penduduk sekitar. Atau bangkai daging ular karena dekat situ ada seorang pedagang penampung ular, di situ ular dikuliti untuk diambil kulitnya. Disusul kemudian aroma kandang kuda Mang Mirja di Karang Simpang. Berganti kemudian dengan aroma bau batu bata merah yang dibakar oleh Mang Rasub di Wonoharjo. Di simpang jalan Sadiproyo berganti lagi dengan aroma kandang burung merpati.

Kampung simpang Sadiproyo ini setia memelihara burung merpati meski itu bukan pada musimnya merpati. Tahu kenapa? karena di sinilah tempat terkenal di masa itu untuk pertaruhan (judi) lomba terbang burung merpati. Sst... sebenarnya di situ juga suka ada judi kipyik dan bangjo. Lebih ke dalam lagi ada arena sabung ayam. Dan tak jauh dari situ ada tobong sandiwara Sunda yang nampak mulai sekarat karena terkena gempuran film keliling layar lebar. Penjaga tobong itu adalah Bi Usti, kakaknya Entus teman sepermainan kecil saya di kampung.

Biasanya Cikembulan-Pangandaran dikayuh terasa sebentar saja bagi kami yang terbiasa bersepeda. Tetapi saya ingat perjalanan ketika itu terasa agak berbeda; agak lamban, karena sepanjang perjalanan masing-masing dari kami lebih banyak membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing menerawang; gerangan seperti apa rasanya bersekolah di SMA nanti, seperti apa pula rasanya nanti mengenakan celana panjang.

Kami larut dalam pikiran masing-masing, sampai kemudian secara tiba-tiba di dekat Tiwar di simpang Jalan Bojong Jati ada suara seseorang yang berteriak mungkin mengguraui kami dengan peringatan; “Awas peneng..!”

Peringatan itu menghentak, dan secara refleks kami menggenjot kayuhan sepeda sehingga kami lebih cepat tiba di depan sebuah spanduk yang bertuliskan: ‘Selamat Datang Para Calon Siswa SMA Negeri Pangandaran Tahun Ajaran 1982/1983”. Pada pintu gerbang sekolah tertempel kertas manila bertuliskan “Tempat Pendaftaran”, lengkap dengan arah mata panahnya. (bersambung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar