Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (1): Memilih SMA N Pangandaran


Sepeda unta adalah icon yang terpatri dalam benak saya dan muncul seketika jika kembali mengingat kenangan masa lalu. Sepeda unta itu sudah uzur tapi sampai sekarang masih terawat di rumah di kampung. Sekarang hanya tinggal seorang ayah saya saja yang menggunakannya. Itupun sudah amat jarang sekali karena ayah tentu sudah lebih uzur dari sepeda unta kesayangan keluarga kami.

Ya, sepeda unta itu adalah kesayangan keluarga kami. Sepeda unta itu harta benda berharga yang telah mengantarkan kami bersaudara berkayuh lebih kurang sembilan kilometer jarak pergi-pulang bersekolah setiap hari Cikembulan-Pangandaran. Sepeda unta itu sungguh amat berjasa sebagai kendaraan estafet yang menghantarkan saya dan saudara-saudara saya menempuh perjalanan hidup. Sepeda unta itu pula yang telah mengantarkan saya untuk mendaftar ke sekolah lanjutan atas negeri yang pertama di Pangandaran.

Ketika akan mendaftar sekolah ke SMA N Pangandaran perasaan saya ketika itu bercampur antara malu, kesal dan kasihan, serta gamang.

Malu kepada lima orang sahabat paling akrab di SMP ketika itu yang sama-sama mengumbar cita-cita melanjutkan sekolah ke kota. Malunya adalah karena dari enam berkawan akrab hanya tinggal saya seorang yang tinggal di Pangandaran. Sesungguhnya tidak ada alasan juga untuk malu karena sejak itu kami berpisah dan sudah amat jarang sekali bertemu, dua orang kawan akrab saya di SMP bahkan belum sempat bertemu lagi sampai sekarang.

Sesungguhnya sewaktu itu saya tidak bisa membedakan antara apakah saya punya cita-cita untuk melanjutkan sekolah ke kota atau saya ingin ke kota?

Memang waktu itu saya belum memiliki cita-cita yang jelas dan tegas, sepertinya begitu pula dengan teman-teman yang lain. Keinginan saya di masa kanak-kanak yang mungkin dapat dikatakan cita-cita, sangat sederhana saja yakni menjadi seorang supir truk agar dapat bepergian ke banyak tempat. Keinginan itu mungkin dipengaruhi lingkungan pekerjaan ayah saya yang bekerja pada sebuah perusahaan dagang (PD Sinar Baru, perusahaan kopra paling top di kampung ketika itu), dimana ayah sering bepergian ke pelosok daerah dan juga ke kota. Keinginan lain yang kuat ketika masa kanak-kanak adalah menjadi seorang masinis, karena saya selalu terpesona dengan kereta api yang melintas di belakang rumah.

Perasaan kesal sekaligus kasihan muncul, karena saya tak bisa memaksakan kehendak pada orang tua agar bisa membiayai saya sekolah di kota. Ayah telah sering mengulang pada anak-anaknya bahwa karena ada enam anak dan dengan kemampuan ekonomi yang pas-pasan, tak mungkin dapat menyekolahkan anak-anaknya ke kota. Kemudian ‘berwaris’; ayah hanya akan mewarisi pada kalian semua bekal pendidikan sampai tingkat lanjutan atas saja. Oh..!

Dan perasaan gamang muncul, karena SMA Negeri Pangandaran yang disebutkan itu sama sekali belum berwujud ketika itu. Tak ada gedung sekolah, tak ada kantor, bahkan tak ada papan nama, kecuali sebuah spanduk berlatar putih: “Pendaftaran Siswa Baru SMA Negeri Pangandaran, Tahun Ajaran 1982/1983”. Spanduk itu direntang pada pohon ketapang di depan halaman SMP Negeri Pangandaran.

Ini sama sekali berbeda dengan SMA N Parigi, yang didirikan setahun lebih dulu dari SMA N Pangandaran. SMA N Parigi ini sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk menyambut dan meyakinkan para calon siswa angkatan pertamanya ketika mendaftar.

Tak ada pilihan, besok saya akan mendaftar ke SMA N Pangandaran. Saya telah menetapkan pilihan itu dengan diiringi senyuman 'kemenangan' orangtua. Meski gamang dengan keadaan sekolah yang baru, saya tak hendak memilih SMA Muhamadiyah. Bukan apa-apa karena seluruh kakak saya bertiga adalah jebolan dari sana semua. Saya sedikit ingin berbeda.

Dan di ujung sore itu sebelum ngampihan hayam , sepeda unta kemudian saya lap sampai bersih mengkilat untuk perjalanan besok mendaftar ke sekolah lanjutan atas yang baru. (bersambung). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar