Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (19) Pesiapan untuk Sebuah Obsesi

Semester pertama di SMA N Pangandaran adalah yang paling bergairah dalam masa remaja saya. Bukan gairah karena puber remaja, bukan pula gairah karena prestasi akademis di kelas, melainkan gairah untuk mewujudkan obsesi kecil saya. Pada semester pertama itu saya mengumpulkan rupiah demi rupiah yang ditabung dalam celengan dua batang bambu yang menjadi tiang penyangga kandang ayam di belakang rumah saya. Itulah cara menabung rahasia yang paling aman. Aman dari godaan untuk memakainya karena cukup melelahkan dan beresiko jika harus mengganti-ganti tiang kandang ayam hanya sekedar untuk mengorek dua-tiga keping logam di dalamnya.

Ada dua sumber utama penghasilan tetap untuk dapat ditabung. Pertama adalah mengupas buah kelapa yang diturunkan dari truk-truk bandar kelapa persis di seberang jalan depan rumah saya. Para bandar ingin mendapat upah gratis dari mengupas buah kelapa.

Dari setiap sabut kelapa yang berhasil dikumpulkan, ibu menghargainya Rp. 5,- yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Itulah para pengupas buah kelapa dibayar oleh para bandar dengan sabutnya yang menjadi salah satu sumber utama untuk energi rumah tangga. Saat itu kapasitas saya mengupas buah kelapa dapat mencapai 120 butir per jam. Itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan kawan-kawan yang lain. Demikianlah di kalangan petani di kidul ketika itu ukuran kedewasaan anak kadang diukur dengan kepiawaian mengikat (ngantet) dan mengupas buah kelapa.

O ya, ibu mirip seorang kreditor tulen. Beliau menetapkan fixed rate; berapapun lebihnya saya mengumpulkan sabut kelapa tetap saja membayarnya tak lebih dari Rp. 400,-, itupun diutang. Tak apa, itu deal yang bagus karena ibu mendukung rencana perjalanan saya. Bahkan beliau memberikan sebuah nama dari kerabat jauh yang tinggal di Madiun dan bekerja di bengkel kereta api. Ibu menyebutnya Uwa Dipo, cari saja nanti di stasiun kereta api di Madiun, katanya. Mantab! Bikin semangat!

Sayangnya tidak setiap saat kita bisa mengupas buah kelapa. Tergantung bandar. Oleh karenanya saya punya ‘usaha' kedua yang lebih menyenangkan. Saya sebut usaha “tangan lembut’, karena yang ini tak perlu berkeringat serta telapak tangan pecah-pecah dan mengeras.

Usaha itu dilakukan di kelas di hari-hari ulangan (test) harian dan ulangan umum. Jika musim ulangan itu tiba maka saya dapat panen lumayan dari kawan-kawan saya yang sering mentraktir saya atas jasa sebagai informan (tepatnya pemberi contekan). Ongkos dan uang jajan sering utuh, yang kemudian menambah pundi-pundi celengan bambu tiang kandang ayam.

Sesungguhnya saya bahkan bisa lebih banyak lagi menabung jika saya menggenjot sepeda ke sekolah. Karena dengan itu berarti lebih pasti lagi tiap hari dapat menabung sebesar ongkos sekolah yang tiap harinya berjumlah Rp. 100,- + Rp. 50,- uang jajan (tapi uang jajan ini tak tentu) yang selalu Ibu taruh di palang dada di dapur. Tetapi bersepeda tidak dilakukan karena begitu masuk SMA entah mengapa kawan-kawan pada malas naik sepeda.

Pada kenyataannya kami sekolah siang hari, dan pulang menjelang maghrib. Kawan-kawan yang dari Pajaten dan Sidamulih (4-5 kilometer lagi dari rumah saya ke arah gunung) malah menitipkan sepeda di rumah saya. Dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bis Pelita atau Satria Kinayungan yang bertarif Rp. 50,- untuk anak sekolah yang sudah bercelana panjang.

Dapatlah dimengerti mengapa ber-bis, sedangkan saya sampai ke rumah menjelang maghrib, mereka yang dari Pajaten dan Sidamulih tentu sampai ke rumah menjelang isya jika seluruh perjalalanan sekolah ditempuh dengan sepeda pancal.

Alasan lainnya tidak bersepeda karena kami sudah memakai celana panjang, sudah SMA! Itu celana panjang kurang elok jika terjepit rantai sepeda dan terkena oli gemuk (oli bekas untuk pelumas rantai). Ada banyak lagi alasan lainnya agar dapat diterima oleh para orang tua supaya berangkat-pulang sekolah SMA pakai bis saja. Sebenarnya sih tak ada yang keberatan para orang tua untuk mulai mengeluarkan ongkos sekolah bagi anaknya yang sudah SMA. Tetapi alasan itu ditambah-tambah saja oleh kami untuk menambah kepastian. Alasan sesungguhnya tak bersepeda adalah mulai menerap rasa malu sejalan usia puber remaja. Itu saja.

Dengan rombongan para penitip sepeda, tak satupun saya jumpa kembali sampai saat 25 tahun kemudian ini. Saya dapat khabar dari Amalyos, kawan di Bogor, bahwa seorang pemancal sepeda itu berjumpa di Pulau Laut di Kalsel, dia Rosadi, telah menjadi seorang polisi; Hebat! Yang lainnya Nana Darna khabarnya di Bandung bekerja sebagai tukang foto dan reklame; Salut! Atang katanya tetap di lembur sebagai petani dan pengojeg; Mantab! Sedangkan dua lagi yakni Yusuf, si buldozer sepeda, dan Sarmin tak ada khabar beritanya hingga kini. Dimarana maneh?

Di pertengahan Semester I, dari proyeksi hasil tabungan saya sudah bisa mengorder sebuah ransel impian untuk bekal perjalanan nanti. Order itu ke Kamal, anak pasar, anaknya Mang Ali dari Tasik, yang setia mangkal di pasar desa kami sebagai penjual pakaian-pakaian bekas. Pesanan ransel itu tiba. Meski tidak terlalu cocok dengan yang dibayangkan tetapi memuaskan karena ransel itu diberikan gratis oleh Kamal ke saya. Tetapi imbalannya dia minta diantar ke tepi pantai untuk mencari jamur yang tumbuh di atas kotoran sapi. Ha ha, perkara gampang atuh.

Dalam sekjap saya dengan Kamal dapat mengumpulkan jamur-jamur kotoran sapi dengan cukup berlimpah. Di malam harinya Kamal mengajak saya untuk mencicipi masakan jamur kotoran sapi yang dicampur digoreng dengan telur. Saya mencicipinya alakadarnya saja karena kelihatan sekali dia jorok memasaknya. Serpihan rumput kering masih terlihat sedikit-sedikit di dadar telor jamur itu.

Sama sekali tak ada yang istimewa dari rasa telor itu, sebaliknya saya malah merasa jijik. Tetapi anehnya selepas Kamal makan habis dadar telor itu dia ketawa-ketawa saja dan tak bisa ditanya. Oalah, belakangan saya diberitahu itu jamur rupanya untuk mabuk. Saya tinggalkan saja Kamal ketika ketawa-ketawa sendirian, dan saya hanya bawa gitarnya saja.

Menjelang ulangan tutup semester pertama, saya mendapat surat balasan dari seorang sahabat karib saya, Tahyo. Dia melanjutkan sekolahnya setamat SMP di Pangandaran ke Sekolah Perkebunan Menengah Atas (SPBMA) di Yogyakarta.

Saya senang bukan main dia menyambut sekaligus mengundang saya untuk berkunjung ke tempatnya di Yogya. Dan saya menyalin alamat tempatnya kos serta rute untuk mencapainya, dicatat pada setiap buku tulis pelajaran yang saya punya. Saya sama sekali tak ingin kehilangan alamat dia di Yogya.

Saya tak sabar dengan perjalanan itu. Lebih-lebih ketika Pak Wiswo di kelas bercerita bahwa pada saat liburan semester di bulan Juni nanti akan ada gerhana matahari total. Suatu peristiwa langka yang terjadi dalam 350 tahun sekali untuk daerah yang menjadi lintasannya. Dan, lintasannya itu adalah kota Yogjyakarta dan Solo. Gerhana matahari total, membakar total semangat saya yang tak sabar untuk segera melawat Yogyakarta, eh salah deng: Borobudur dan Kereta Api.***

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar