Cobalah pandang dari dekat. Maka akan terlihat bulu-bulu halus di atas bibir Yayat Ruhiyat. Saya pikir hanya itulah tanda fisik yang menunjukan kedewasaannya. Karena kalau dilihat secara keseluruhan, apalagi jika hanya dengan sekilas, Yayat itu kelihatan masih anak-anak dan tampaknya belum pantas untuk duduk di bangku SMA. Perawakannya kecil dan mukanya baby face banget. Tampang anak-anak itu disempurnakan dengan penampilannya yang memakai jam tangan baru berlogo mickey mouse. Dialah yang memulai pamer barang di kelas I IPA5.
Disusul kemudian Wawan Setiawan. Ang Aceng kakaknya yang bekerja di Tanggerang mengirimkan paket khusus via pos ke alamat sekolah. Saya mengantarnya langsung ke kantor pos menjemput paket kiriman itu. Ketika dibuka isinya: Wow! sebentuk jam tangan digital Casio dan sepasang sepatu Lotto.
Jam tangan digital itu sungguh luar biasa. Dapat distel dengan berbagai mode, lengkap dengan game dan alarm-nya. Beberapa dari kami takjub melihatnya. Tapi yang empunya belumlah fasih bagaimana menggunakannya. Sehingga jam itu tiba-tiba saja dapat memecah kesunyian di kelas mendendangkan nada-nada (tones) lagu setiap periode waktu tertentu. Dan bunyi jam tangan digital yang tiba-tiba menyentak itulah yang mengumumkan kepada yang lain, seolah-olah berkata; “sorry ya, ini jam tangan digital euy”. Sedangkan derap sepatu Lotto-nya, dengan sombong selolah mengejek: "maaf sepatu warior minggir dan jalannya di belakang". Pamer!
Terutama melihat sepatu Lotto-nya itu, saya hanya dapat memandangnya dan menelan ludah. Saya hanya bisa membatin, kapan bisa berganti mode usang sepatu warior (tipe sepatu kelinci yang tinngi sampai ke mata kaki). Rasanya sungguh susah dibayangkan saya dapat meraih hal itu. Tidak putus asa, saya berdoa semoga Tuhan memberi saya sepatu bagus. Karena hanya itulah yang bisa saya lakukan.
Rupanya Tuhan benar-benar mendengar doa saya. Tuhan memberi saya sepatu yang bagus, saya pikir mungkin itu sepatu yang paling bagus dipakai anak sekolah di seluruh Ciamis Selatan ketika itu. Tetapi Tuhan memberikannya dengan cara yang unik.
Tak lama setelah Wawan menerima paket, rumah kami kedatangan kerabat dari Bandung. Mereka anak-anak muda berombongan menggunakan motor Honda CB dan Supercap. Tentu saja tujuannya kemana lagi kalau tidak berakhir pekan di pantai Pananjung. Tetapi menginap di rumah kami. Dan kami menyambutnya dengan suka cita.
Tetapi sukacita itu tiba-tiba saja seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Karena salah seorang tamu kami pulang ke Bandung bersandal jepit. Karena sepatu barunya hilang. Sungguh kami sekeluarga merasa aib. Dan itu adalah musibah. Ayah dan ibu merah padam menahan malu, entah berapa kali mengucapkan maaf kepada para tetamu dan berjanji akan mencarikannya. Sedangkan yang punya sepatu kelihatannya tenang-tenang saja dan merasa jengah dengan permohonan maaf ayah dan ibu.
Demikianlah segera selepas tamu berpamit pulang ke Bandung. Ayah mengumpulkan seluruh tetangga dekat untuk mencari informasi dan meminta bantuan pencarian. Sementara ibu pergi ke ‘orang pintar’ untuk mencari opini ketiga. Maka dimulailah pencarian besar-besaran itu. Hasilnya? Nihil!
Wawa Nugraha teman sepermainan di penggembalaan kerbau, jatuh iba pada musibah yang menimpa keluarga kami. Lalu dia membisikan sesuatu ke telinga saya: “Sst … was-wis-wus … tapi jangan katakan yang bilang saya ya”. Kurang Ajar! Memang hati kecil saya curiga pada satu kawan permainan kecil yang lain yang telah menunjukan bakat preman sejak keci. Beraninya dia menohok dan memoles kotoran di muka keluarga kami. --Tak perlu saya sebutkan siapa kawan sepermainan kecil itu. Karena sampai sekarang pun orang di kampung tak ada yang mencari tahu tentangnya. Dia kawan kecil itu bertahun-tahun telah menghilang ditelan jalan hidupnya.
Dengan emosi yang memuncak sampai ke ujung pucuk pohon kelapa, saya mendatangi kawan preman kecil itu dan menghajarnya setengah hati. Tak lama kemudian itu sepatu diantarkannya ke rumah. Legalah kami, dan Ayah segera mengirim telegram ke Bandung mengabarkan bahwa sepatu telah ditemukan serta tidak lupa tetap memohon maaf. Sementara menunggu balasan itu sepatu dibungkus amat rapi sekali dan diletakan di lemari ayah dan dikunci, untuk memastikan tak ada lagi tangan jail mengganggunya.
Tidak lama berselang datanglah sepucuk surat dari Bandung. Isinya ucapan terima kasih atas segala sambutan dan keramah-tamahan keluarga kami, serta permohonan maaf karena telah merepotkan. Sedangkan tentang sepatu hampir sama sekali tak disinggung, kecuali sebaris kalimat NB, dibawah tanda tangan pengirim. Di situ tertulis jelas dan tegas; “lupakan tentang sepatu, jika cukup dan kalau mau berikan saja kepada Adit”. –saya maksudnya.
Sungguh tak dapat diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaan gembira saya ketika itu. Bagaimana tidak? Itu sepatu adalah sepatu Adidas asli. Terbuat dari kulit berwarna coklat. Harganya sungguh membuat ayah berdecak. Karena harga sepatu itu sama dengan lima kali hasil seluruh panen buah kelapa yang kami miliki.
Sepatu Adidas seketika menegapkan langkah-langkah saya di halaman sekolah dan di dalam kelas. Sepatu saya seraya berkata: "Punten sepatu Lotto, Adidas mau lewat euy!".
Moral dari kisah di atas adalah bahwa musibah itu bisa berubah menjadi berkah jika kita ikhlas dan tulus menerimanya. Dan saya percaya betul Tuhan memang dapat memberikan rezeki pada umatnya dengan jalan yang sama sekali tidak dapat disangka-sangka. Tuhan mengabulkan doa saya.
Saya bersyukur atas sepatu itu. Karena demikian bagus kualitasnya, sepatu itu dapat terus saya gunakan hingga selesai saya menamatkan kuliah di Bogor. Sesungguhnya sampai saya selesai sekolah, sepatu itu masih layak pakai. Tetapi kemudian saya ‘wariskan’ ke anak ibu kos yang sejak awal dia menaksir sepatu saya.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar