Dalam suatu perjalanan kereta listrik (KRL) di Jakarta, ajaib; saya bersua dengan seorang kawan lama semasa kelas 2 SMP di Pangandaran. Rupanya dia merupakan salah seorang pelanggan setia KRL. Meski berpuluh tahun tak jumpa dia, tapi saya tidak kesulitan mengingat kembali namanya. Nama dia terekam kuat dalam otak saya yang masih jernih/suci ketika itu. Rohman namanya, tapi di sini saya sebut Rohman SMP.
Ingatan yang paling kuat terhadapnya adalah dari bau sepatu dan bau kakinya. Dia anak seorang penderes nira kelapa yang hanya memiliki sepasang sepatu yang dikenakannya selama tiga tahun di SMP (atau mungkin empat tahun, karena satu kali dia harus mengulang kelas). Badannya kurus dan berpanu yang menyelimuti hampir seluruh badannya sampai ke leher. Karenanya, di kelas dia duduk terisolir di belakang sendirian. Kadang muncul perasaan kasihan saya padanya. Maka sekali-kali saya menemaninya duduk sebangku, meski taruhannya menahan-nahan napas untuk berpaling dari bau kaki dan sepatunya.
Perjumpaan dan perbincangan singkat dengannya memicu kenangan lama saya sewaktu kecil sekira di kelas 5-6 SD. Nun ketika masa kecil itu, saya memiliki juga seorang kawan sepermainan sehari-hari di kampung yang juga sama bernama Rohman (untuk membedakannya dengan Rohman SMP, di sini saya sebut Rohman SD). Dia anak seorang tukang kamasan dari Purwokerto yang mengadu nasib dan peruntungannya di kampung saya di Cikembulan.
Entah siapa yang memulai, saya dan Rohman SD pertama kalinya belajar merokok. Sungguh merupakan petualangan yang mendebarkan karena mengambil resiko besar. Di kampung, anak-anak merokok masuk dalam kategori pelanggaran besar dimana orang tua tak akan main-main menghukumnya.
Kami memiliki kesempatan belajar merokok hanya dua kali dalam setahun, yakni ketika padi di sawah telah meninggi dan mulai menguning. Pada kesempatan seperti itulah maka ada tempat yang benar-benar sangat aman untuk belajar merokok. Kami duduk di pematang sawah yang terlindung oleh rimbunnya padi yang tinggi. Sebungkus rokok Commodore dikupas lalu dihisap sambil berbatuk-batuk. Sungguh bebas dan aman karena tak ada seorangpun yang dapat mendengar suara batuk dan ketawa serta mendeteksi kepulan asap rokok; kecuali burung-burung manyar. Sekali-kali berdiri bergantian untuk memeriksa kemungkinan kedatangan orang-orang yang lewat di sawah.
Selepas tamat Sekolah Dasar, Rohman SD kembali pindah bersama keluarganya ke Purwokerto, kecuali bapaknya yakni Mang Sahud masih tetap menggeluti usaha kamasannya di Cikembulan. Sejak saya pisah dengan Rohman SD tak pernah lagi saya berjumpa dengannya sampai sekarang. Pada suatu kesempatan saya pulang kampung dan berjumpa dengan Mang Sahud saya dapat khabar tentang Rohman SD. Dia tinggal di Purwokerto bersama istri dan 3 anaknya. Khabar lain yang saya dapat tentang Rohman SD, dia sekarang menjadi perokok berat.
Berbeda dari Rohman SD, Rohman SMP sebaliknya dia seorang yang anti rokok sejak kecil. Dia akan selalu ngomel jika ada anak-anak merokok apalagi jika kepulan asap rokok mengganggunya. Rohman SMP tidak merokok, tidak juga minum kopi, untungnya saja dia suka shalat sehingga tak patut dikasihani. Yang patut dikasihani adalah orang yang sudah tidak merokok, tidak minum kopi, tidak shalat lagi! Lalu kenikmatan dunia mana yang direguk?
Kembali pada perjumpaan lagi saya dengan Rohman SMP di KRL. Rohman SMP juga masih suka ngomel pada perokok. Dia ngomel pada seorang bapak berkeringat yang cuek mengepul asap rokok tidak jauh dari tempat kami berdiri di dalam gerbong KRL. Katanya, itu orang pasti merokok sejak remaja, seperti kamu Nip. Oh kok ke saya!, pikir saya. Lanjutnya, coba pikir Nip kalau orang itu sejak remaja menabung uangnya yang digunakan untuk membeli rokok tentu dia sekarang tak usah bersusah payah berdesakan dan berkeringat untuk bepergian. Dia, maksudnya terhadap bapak yang merokok tadi, seharusnya sudah memiliki mobil dari tabungan yang dialihkan dari membeli rokok.
Saya membatin dalam hati; Rohman..., tak ada bedanya antara perokok dan yang bukan perokok! Kamu yang tidak merokok sejak kecil toh tidak memiliki mobil dan masih harus berdesakan dalam KRL. Seperti halnya saya.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar