Binatang itu punya nama ilmiah Helarctos malayanus. Di Indonesia lebih populer dikenal dengan nama Beruang madu. Tingginya pohon bermadu (pohon sialang) serta ganasnya gerombolan lebah tak menghiraukan dia untuk menjangkaunya. Dia amat gemar nyaris maniak terhadap madu. Atas keberanian dan kegemarannya itu, pantaslah dia dijuluki Beruang madu.
Sengatan segala jenis lebah madu hutan tak mempan kepada Beruang madu, kecuali satu, yakni jenis lebah yang oleh orang lokal di daerah Air Hitam di Kalbar diberi julukan Penyengat Beruang. Dari namanya saja, Anda pasti sudah bisa menebak jenis lebah ini begitu ganasnya. Memang benar, kata orang-orang lokal Beruang madu bisa berguling-guling atau lari terbirit-birit jika terkena lebah Penyengat Beruang.
Saya belumlah sempat mengidentifikasi sesungguhnya jenis apa lebah itu. Tetapi saya telah merasakan sengatannya yang luar biasa. Ingin tahu seperti apa rasanya disengat lebah Penyengat Beruang?
Begini, Anda tahu jarum yang digunakan untuk menjahit karung goni? Kalau tak tahu, berarti Anda benar-benar tidak tahu. Langsung saja; jarum itu panjangnya kira-kira 12 cm, diameternya dua kali lipat batang isi tinta ballpoint. Jarum karung goni itu berbenang tali rafia. Jarum itu dikepal dan ditusukkan ke karung goni dengan tenaga penuh untuk menjahit/menutup isi karung goni. Nah sekarang bayangkan yang ditusuk jarum itu bukan lagi karung goni, melainkan bagian dari tubuh Anda! Kira-kira seperti itulah rasanya disengat lebah Penyengat Beruang.
Saya belum ingin berhenti cerita berbagi rasa disengat lebah Penyengat Beruang. Karena ini merupakan hal biasa, yang merupakan bagian dari resiko jika kita suka masuk ke hutan. Yang kemudian ingin saya bagi cerita adalah kisah heroik sesudahnya serta rahasia kecil untuk anak dan istri saya.
Segera setelah saya tiba di rumah, istri dan anak-anak terkejut melihat dada dan tangan saya bengkak dan merah, meradang seperti bekas terbakar. Saya ceritakan kepada mereka bahwa itu adalah bekas sengatan Penyengat Beruang yang didapat 10 hari sebelumnya ketika di hutan. Saya ceritakan kepada mereka selepas makan malam lengkap dengan foto-fotonya. Anak-anak senang mendengar cerita dan melihat foto-foto saya, karena fotonya lengkap termasuk foto sarang, jejak, kulit dan tengkorak beruang.
Tiga bulan kemudian. Saya kembali pulang dari hutan di Kalteng dengan membawa luka di betis kaki kiri. Luka yang ini relatif lebih segar berbentuk garis dua dalam memanjang berdampingan. Garis luka pertama sepanjang 8 cm, yang kedua sepanjang 5 cm. Istri dan anak-anak seketika bertanya kenapa lagi? Saya jawab; yang ini bekas luka dicakar Beruang madu. Mereka sangat terkejut sekali, tidak percaya, tetapi sekaligus takjub. Seperti biasa kisahnya saya ceritakan lagi selepas makan malam dibarengi pemutaran slide foto-foto dari lapangan.
Anak-anak dan istri sekali lagi takjub dengan cerita saya di hutan. Tetapi mereka heran karena tak dapat membayangkan bagaimana mungkin Ayah bisa dicakar Beruang di hutan? Sebelum tidur anak-anak terlihat bangga atas cerita heroik saya bisa bertahan dari serangan Beruang.
Besok paginya, selepas anak-anak berangkat sekolah. Istri saya menghampiri dan bertanya serius: "Ibu tidak percaya pada cerita Ayah semalam. Coba katakan sejujurnya, luka itu karena apa?" Saya jawab lagi: "Dicakar Beruang". Istri saya termangu-mangu, sejurus kemudian bergumam: "Saya tak percaya...pasti ada maksudnya..". Saya balik bergumam; "Tak ada yang meminta percaya..."
Hari-hari berikutnya di rumah saya menikmati bagaimana disanjung sebagai hero. Kenikmatan itu bentuknya berupa pijatan anak-anak sebagai imbalan atas ulangan cerita saya dicakar Beruang madu. Anak-anak rupanya penasaran atas cerita saya dan mencoba merekonstruksi bagaimana kejadian saya bisa dicakar Beruang madu.
Belum genap seminggu pijatan anak-anak terhenti karena menangkap keganjilan cerita. Usailah sudah kenikmatan itu. Anak-anak, kalian memang pintar, dan salut untuk istri yang peka. Cerita yang sesungguhnya begini (cerita yang pertama disengat lebah Penyengat Beruang sungguh benar terjadi):
Setelah selesai pekerjaan assessment di lapangan, saya mengolah data di camp. Camp itu tidak diperuntukan sebagai tempat untuk bekerja melainkan benar-benar didesain untuk istirahat. Tak ada kursi dan meja kerja di ruang tengah. Akhirnya menulis saja di kamar karena di dalamnya ada meja rias sederhana yang nampaknya diinstall oleh pemborong bangunan camp alakadarnya saja (kualitas rendah). Namanya juga kursi meja rias, tak didesain untuk diduduki lama-lama, apalagi untuk ukuran berat tubuh 80 kg. Jadi tidak sampai 15 menit kursi diduduki ambruk. Paku-pakunya menggores betis saya.
Tadi malam pegal-pegal sedikit terobati lagi karena anak-anak kembali memijit saya sebagai imbalan atas cerita saya ke anak-anak; sesuatu yang baru tentang kisah hantu-hantu di gedung DPR.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar