Mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran dan 25 Tahun Meninggalkan Kampung Halaman (1985-2010)

Perjalanan (0): Kembara Lintas Panjang

Mengisi kekosongan Blog ini saya hendak menulis suatu serial tentang perjalanan seorang alumnus SMA N Pangandaran. Ini adalah kisah perjalanan diri. Saya ingin menuangkannya untuk mengenang 25 Tahun SMA N Pangandaran, sekaligus 25 tahun meninggalkan lembur Cikembulan. Kisah perjalanan ini akan saya sajikan secara serial sesuai dengan mood yang muncul.

Kisah perjalanan ini saya persembahkan kepada seluruh sahabat dan para guru semasa SMA yang telah memberi inspirasi sebagai bekal perjalanan hidup saya. Juga kisah ini saya persembahkan secara spesial kepada para sahabat sepermainan kecil saya di kampung. Kepada kawan-kawan kecil tersebut saya selalu tak sempat untuk berbagi kisah, padahal sebaliknya jika saya bersua dengan mereka di kampung saya selalu mencuri-curi menggali pengalaman hidup mereka. Saya sadar berbagi kisah kenangan ini pasti akan sulit sampai pada mereka karena rasanya tak mungkin mereka dapat mengakses internet kecuali ada semacam 'mukzizat'. Tapi itu tak mengapa, barangkali saja suatu saat nanti akan terbaca oleh anak-cucunya yang lebih baik tingkat aksesibilitas internetnya dari bapak/ibu atau kakek/neneknya. Semoga!

Penggalan-penggalan kisah perjalanan ini berharap dapat membangkitkan kembali kenangan untuk menambah gairah semangat hidup, seperti dulu waktu kita bersama-sama di masa remaja dan anak-anak.
Selamat Ulang Tahun Perak SMA Negeri Pangandaran!

Sejauh yang Kuingat Tak Kuingat Nama

Pada suatu pagi, kami --saya dan seorang kawan kecil-- bermain di tepi sebuah selokan di dekat rumah di Situ Saeur, Bandung. Itulah sejauh-jauhnya yang dapat diingat tentang kejadian dan tempat sewaktu kecil. Seluruh saudaraku berlima dilahirkan di Bandung, kecuali si bungsu yang keenam asli dilahirkan di Cikembulan, di-landih-nya sebagai "budah laut kidul".

Ketika ingat itu tidaklah pasti berapa usia saya sebenarnya karena tak ada bukti autentik kapan saya dilahirkan. Yang diingat pasti oleh orang tua adalah saya dilahirkan di R.S. Imanuel - Bandung ketika zaman Ganefo. Jika ditilik dari catatan sejarah, Ganefo itu terjadinya pada era di tahun 65/66.

Kupikir ayah ketika itu mendapat kesan yang kuat atas gerakan Ganefo yang dicetuskan oleh Sang Proklamator. Karena itu saya diwariskan nama “Ganip”, tapi "p" bukan "f" atau “v”, maklum kami orang Sunda. Tetapi sehari-hari saya dipanggil Adit..!

Ganip” adalah nama yang asing bagi saya di masa anak-anak. Bahkan di SD saya dipanggil resmi dan diabsen dengan nama Adit. Baru kemudian ketika akan menyelesaikan SD nama resmi dipersoalkan/ditetapkan --pada raport SD masih jelas terlihat bekas koreksian nama: “Adit Gunawan” --> “Gandip Gunawan” -->"Ganip Gunawan". Sedangkan nama "Gunawan" tidaklah terlalu asing. Karena kebiasaan ibu kalau memarahi anak-anaknya cukup diteriakan nama resmi belakang. Jika nama itu telah diteriakan, itu artinya ibu benar-benar telah marah pada saya: "Gunawan...mandi!!".

Saya sendiri tidaklah terlalu peduli dengan persoalan nama. Namaku “Adit”, titik. Karena seluruh dunia ketika itu; semua orang di rumah, di sekolah, di mesjid, di kebun, di sawah, di pantai, dan di pasar menyapaku demikian. Kepedulian saya terhadap nama baru terjaga ketika masuk SMP Negeri di Pangandaran. Di hari-hari pertama bersekolah di SMP ketika diabsen jatuh pada nama "Ganip", maka kelas menjadi hening sejenak. Murid nama “Ganip” dianggap absen. Jika kemudian guru mengerutkan kening melihat tak ada satupun bangku yang kosong, baru kemudian saya tersadar dan berseru: “Hadirr..!".

Hingga sekarang saya dapat memastikan; jika orang-orang menyapa saya dengan nama "Ganip" maka itu pasti teman-teman sekolah atau kolega yang berasal dari luar kampung Cikembulan. Boleh periksa jika sempat mampir ke kampungku tanyakan saja dimana rumah "Ganip", pasti akan berpusing-pusing dulu. Seperti ibunya Jasa Priady, sahabat SMA, yang baru-baru ini datang ke rumah di kampung. Dengan keuletan dan kesabaran yang tinggi baru pada putaran ketiga dapat bertemu dengan ibu saya. Ade Suta, Unen dan Eman diantara sahabat kecil saya yang tidak tamat SD jika tahu nama saya yang resmi mungkin akan menyangka bahwa saya telah berganti nama, dan akan berkomentar; ... balaga.

Kendati saya dilahirkan di Bandung kakek-moyang saya baik dari ayah maupun ibu, adalah asli orang kidul, budah laut kidul. Kakek buyut saya dari pihak ayah berasal dari Parigi, sedangkan dari pihak ibu berasal dari Sidamulih. Ayah sekolah ke kota, bekerja di Bandung, bertemu ibu dan menikah. Kami sekeluarga pindah dari Bandung ke Cikembulan atas dua alasan, demikian kata ayah ketika suatu kali kutanya. Pertama, adalah alasan keluarga karena ayah adalah anak tunggal dari kakek-nenek saya. Ayah dipanggil pulang karena kakek sudah sakit-sakitan dan tiada yang mengurus kebun dan sawah, sedangkan nenek telah wafat lebih dahulu. Kedua adalah alasan politik, kantor dimana ayah bekerja di Bandung ditutup karena dituding sebagai antek bahaya laten oleh rezim penguasa yang belum lama tumbang.

Kami pindah ke Cikembulan tahun 1971 dengan menggunakan kereta kuik, kereta api paling gagah yang pernah ada. Sampai sekarang saya sangat takjub pada kereta itu. Demikian kami menyebutnya kereta kuik dari bunyinya yang menguik nyaring disertai semburat uap panas. Kereta kuik adalah kereta api dalam arti yang sebenar-benarnya (harfiah). Karena pada lokomotifnya menyala-nyala api yang menjadi sumber utama energi geraknya. Api itu diperoleh dari batubara dan kadang dicampur dengan potongan-potongan kayu bakar yang besar. Api diperlukan untuk membakar ketel air besar untuk menghasilkan uap air dengan tekanan yang sangat tinggi. Tekanan uap itulah yang disalurkan pada roda-roda lokomotifnya yang kokoh untuk menarik rangkaian gerbong-gerbong kayu penumpang di belakangnya. Setiap beberapa stasiun perhentian tersedia tempat 'peminuman kereta' yang bentuknya juga sama kokohnya dengan kereta itu. Tempat peminuman kereta itu ada di stasiun Banjar, Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, Putrapinggan, dan Cijulang. Jika duduk di gerbong depan dan melewati terowongan Sumber maka siap-siap saja muka atau baju bisa hitam terkena jelaga.

Kereta api merupakan nadi kehidupan utama masyarakat pakidulan waktu itu. Jalan raya ketika itu masih belum beraspal, kalau tak salah jalan raya diaspal sekitar tahun 1973/74. Kendati begitu kendaraan bis telah ada. Ada dua bis yang melegenda ketika itu, yakni bis Gunung Tua dan bis Panah Euis, yang dua kali saja melewati kampung yakni di subuh hari dan petang hari. Lebih kecil dari itu ada oplet Sinbad dan Kurnia untuk angkutan jarak pendek antara Cijulang - Pangandaran - Banjarsari. Sedangkan jarak yang lebih dekat Cikembulan - Pangandaran cukup dengan delman. Sepeda pancal merupakan alat transportasi sehari-hari yang utama dimiliki oleh hampir setiap rumah tangga. Jumlah dan kepadatan sepeda pancal waktu itu, mungkin sebanding dengan kepadatan sepeda motor saat ini di kota-kota.

Di jalanan ketika itu, ada beberapa roda yang ditarik dua ekor sapi hilir mudik Cikembulan-Pangandaran. Salah satunya adalah milik Ki Samiraji yang terletak persis berdampingan dengan gedung SD Cikembulan I. Roda sapi itu memiliki pelanggan utama para pedagang pasar yang mengemas barang-barang jualan untuk dipindahkan dari pasar Cikembulan ke pasar Pangandaran atau sebaliknya. Tetapi juga kadang digunakan untuk mengangkut hasil panen kelapa, mengangkut genting atau batu-bata. Di masa kecil bergelayutan naik roda sapi di bagian belakang, rasanya sungguh 124,5 kali lebih menyenangkan daripada naik halilintar di Dufan.

Kami sekeluarga tinggal di rumah kakek. Rumah itu, saya baru menyadari kemudian, sungguh sangat antik. Arsitekturnya merupakan campuran dari gaya kolonial Sunda dan Belanda. Berbentuk setengah permanen, lantai bawahnya berupa tembok dengan fundasi yang tinggi sekitar 1,2 meter dari tanah. Oleh karenanya di pintu muka, sebelum masuk tepas, ada tangga tembok berjumlah empat. Pintu-pintu, jendela dan atapnya sangat tinggi yang merupakan ciri khas arsitektur kolonial. Tetapi dinding-dindingnya dari bilik bambu yang memiliki ventilasi di bagian bawahnya, salah satu ciri khas arsitektur parahyangan.

Rumah kami memiliki 1 tepas, 1 kamar tidur besar (lebih mirip bangsal), 1 kamar sedang sebagai kamar utama, 1 ruang tamu di tengah, di bagian belakang 1 ruang makan dan 1 ruang untuk gudang. Ruang dapur rumah kami terpisah di belakang, dekat sumur. Sumur kami kala itu juga dimanfaatkan oleh beberapa keluarga tetangga kami. Tidak ada kakus/wc, karena pada saat itu rasanya tak ada satupun rumah di kampung kami yang memiliki kakus/wc. Jika buang hajat orang-orang pergi ke selokan di sawah atau cukup dikubur di kebun jika hajat itu datangnya malam hari. Kami membangun kakus/wc sekira tahun 1974 atas desakan kerabat dari Bandung yang kerepotan jika berkunjung ke Cikembulan. Saya pikir itu kakus pertama yang dibangun di lingkungan RT kami.

Sekira dua pelemparan batu ke arah barat dari rumah kakek terdapat pasar. Pasar ini sungguh sangat ramai sekali ketika itu, suaranya bergemuruh sampai terdengar ke rumah. Kata orang-orang tua pasar Cikembulan lebih ramai dari pasar Pangandaran dan Cibenda. Tetapi pasar itu hanya buka dua hari dalam sepekan, yakni pada setiap Rabu dan Minggu. Pasar Cikembulan adalah salah satu tempat favorit permainan kecil. Salah satu permainan favorit masih saya ingat adalah permainan bola kaki dengan menggunakan kalo --bekas bukus tembakau seperti upih kering kemudian dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bola takraw.

Pasar bagi penduduk kampung bukan hanya sekedar tempat jual beli, melainkan juga pusat kebudayaan. Hampir seluruh kegiatan kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh desa pasti dilaksanakan di pasar, tepatnya di gedung aulanya di bagian tengah. Pentas sandiwara, latihan menari, pasanggiri gamelan, halal bil halal, pemilihan kepala desa, badminton, dan juga bioskop keliling. Orkes Melayu "Kuntum Mekar" pimpinan RS. Hidayat dari Bandung sering pentas di sini. Pasar kampung kami dijaga oleh seorang musafir yang bernama Ki Lintrik. Pada hari pasar. rabu dan minggu, musafirnya bertambah satu orang yakni Nini Gorowong.

Sekira jarak setengah-peminuman teh dari rumah ke arah selatan terhampar bibir pantai Samudera Hindia. Gemuruhnya ombak pantai selatan ini terdengar sangat jelas pada setiap malam yang selalu hening. Meski jaraknya tidak jauh tetapi tidak bisa cepat kita dapat meraih pantai, karena sebelum menginjak bibirnya, kita akan dihadapkan pada formasi hutan pantai yang cukup lebat. Berbagai pohon pantai, lengkap dengan semak dan durinya akan menghambat kita berjalan. Pantai ketika itu tempat yang ideal untuk berlabuh dan bertelurnya penyu.

Di Cikembulan inilah saya menghabiskan masa anak-anak dan remaja yang sangat indah sekali bersama kawan-kawan kecil sepermainan. Saya sekolah di SD Cikembulan I tahun 73. Mestinya saya masuk SD pada tahun 72. Tetapi saya ngadat tidak mau karena malu sebab lingkar tangan di kepala belum menjangkau kuping secara penuh, padahal menyentuh saja harusnya sudah cukup. Ukuran usia masuk sekolah SD ketika itu dilihat dari apakah lingkar tangan di kepala telah dapat menjangkau kuping atau tidak. Saya pikir itu hanya sebagai patokan guru dan orang tua saja, karena akta kelahiran yang menunjukan keakuratan usia anak ketika itu sama sekali tidak ada/tidak populer. Lipatan tangan anak di kepala yang telah dapat menjangkau kuping ditaksir telah berumur sekitar 6 - 7 tahun.

SD Cikembulan I hanya memiliki 3 ruang kelas saja. Ruang kelas digilir bergantian antara kelas 1 sampai 3 di pagi hari, dengan kelas 4 sampai 6 di siang hari. Tetapi giliran saya kelas 4 SD kelas kami dipindahkan ke Cikangkung karena di situ baru dibangun SD Inpres, dimana ruangan kelas masih kosong untuk kelas-kelas yg tinggi. Kami sekolah di Cikangkung 1 tahun, kelas 5 kami kembali ke gedung induk SD Cikembulan I, yang bangunannya masih dari bilik bambu.


Sekolah masa SD di pakidulan saat itu sama sekali tak ada kewajiban berseragam alias berpakaian bebas saja. Baru setelah kelas 5 dan 6 disarankan pakaian atas berwarna putih dan bawah warna hitam. Tak ada yang bersepatu, bersendal jepit pun sudah baik, karena tidak sedikit para murid bertelanjang kaki. Sesungguhnya bukanlah berarti para orang tua kami tak mampu beli sepatu, melainkan kelihatan malas saja. Sebab jika dibelikan hanya dipakai ketika saat-saat istimewa saja, yakni saat Agustusan, pramuka/camping, dan samen (kenaikan kelas). Jadi, sepatu masih pada baru masa harus beli lagi (sepatu itu tentu cepat menjadi kekecilan karena kami dalam masa pertumbuhan). Sepatu yang populer ketika itu adalah sepatu 'kelenci ' berwarna putih. Lebih menengah dari itu adalah sepatu "Gesta". Hanya dua orang kawan semasa kecil yang sepatunya paling bagus, sepatu 'Cheko', dia adalah Ujang Holis Marwan dan Budi Mulyono. Bagi anak-anak petani waktu itu sungguh dianggap sebagai gaya/aksi jika buku-buku letjes, dibawanya dengan tas mangga atau tas gajah. Tas itu tiada lain berupa plastik bekas sampul kain sarung tetapi ada penutupnya berupa kancing cetet.

Saya melepas SD tahun 1978. Tengoklah sebelah ini, itu adalah sisa foto pendaftaran ke SMP. Foto itu diambil tahun 1978 oleh juru foto Mang Dede dari Nengklok, sekalian untuk izazah SD. Tahun itu juga, ajaran 1978/79 saya terus melanjutkannya ke SMP Negei Pangandaran. Baru di SMP inilah berseragam dan bersepatu itu wajib sifatnya bagi seluruh siswa. SMP diselesaikan 3 tahun, tamat dan berizazah tahun 1981/82. Tapi kemudian segera setelah itu saya bingung dan gamang kemana hendak melanjutkan sekolah???

Dari Cikembulan lintas pengembaraan panjang dimulai. Saat
kerinduan terhadap Cikembulan ini datang memuncak maka saya melepaskannya dengan menulis penggal-penggal kisah kenangan perjalanan ini. Pasti tak akan sanggup menuturkan seluruh kisah ini padamu semua, kawan. Oleh karenanya saya ingin perdengarkan "Kembara Lintas Panjang" dari Ebiet G Ade. Anggap saja ini sebagai lagu pembuka sekaligus sebagai abstraksi kisah perjalanan sejauh ini. Dengar dan simaklah:

perjalanan yang tak pernah kuduga
menelusuri kemarau
melangkahi hari-hari gelap
mengais di bumi yang panas

pemahaman makna yang maha sunyi
menerjemahkan khayalan
melengkapi semua kenyataan
hidup di alam semesta

matahari
menumbuhkan jalinan pikiran
kehangatannya mesti kita hayati

mata hati
mungkin jauh lebih banyak melihat
kejujuran sering terkubur di dasar jiwa
sering terbenam dibawah mata

perjalanan yang tak pernah selesai
kecuali atas kehendak-Nya
memahami inti kehidupan
keletihanpun tak terasa

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar